Pembangunan Ekonomi Jokowi Minus Kebebasan

Kamis, 26 Desember 2019 15:12 WIB

kolom

Abdil Mughis Mudhoffir

Sosiolog, dosen Universitas Negeri Jakarta

KALANGAN pengamat, terutama para Indonesianis, menilai penurunan kualitas demokrasi di Indonesia terjadi sejak periode pertama pemerintahan Joko Widodo. Penurunan ini terkait prioritas pembangunan ekonomi Jokowi yang cenderung mengesampingkan hak asasi manusia (HAM) dan penegakan hukum. Setelah terpilih untuk yang kedua kalinya, bahkan sebelum dilantik, kecenderungan itu kembali menguat.

Beberapa kasus belakangan yang dapat disebutkan menuju ke arah itu di antaranya: pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, represi terhadap demonstran yang menolak pelemahan komisi antikorupsi, penggunaan pendekatan keamanan dalam menangani krisis di Papua, serta berbagai bentuk pembungkaman politik terhadap oposisi. Di saat yang sama, pemerintah kembali mempertegas prioritas pembangunan di bidang ekonomi.

Advertising
Advertising

Dalam pidato pertamanya setelah kembali terpilih sebagai Presiden, Jokowi menegaskan akan ‘menghajar’ siapa pun yang menghambat investasi. Ia merujuk pada perizinan yang berbelit-belit dan maraknya pungutan liar sebagai penghambat investasi. Namun, mengingat demokrasi di Indonesia selama ini ditopang praktik konsentrasi sumber daya ekonomi melalui akses terhadap otoritas publik, apa yang dikemukakan Jokowi tidak lain sekadar retorika.

Pada kenyataannya, investasi lebih terkendala di antaranya oleh adanya penolakan warga yang berupaya mempertahankan haknya atas tanah, permukiman serta properti yang terancam berbagai proyek pembangunan, daripada oleh birokrasi yang berbelit dan pungli.

Singkatnya, yang lebih menghambat investasi adalah adanya pemenuhan keadilan sosial dan ekonomi serta perlindungan terhadap HAM sebagai fondasi liberalisme dalam politik. Dengan kata lain, liberalisme politik pada konteks ini justru menjadi hambatan bagi pembangunan ekonomi. Maka, pertanyaan yang penting diajukan bukan soal bagaimana ekonomi dapat tumbuh seiring dengan membaiknya perlindungan terhadap HAM. Sebab, pada kenyataannya, banyak negara-negara non-demokratis seperti Cina, Singapura dan Vietnam atau yang kualitas rule of law-nya buruk memiliki performa ekonomi yang lebih baik ketimbang negara-negara demokratis di Eropa.

Peta indeks rule of law V-Dem untuk beberapa negara di dunia. (Sumber: V-Dem)

Dalam sepuluh tahun terakhir, berdasarkan data lembaga pemantau demokrasi V-Dem negara-negara dengan skor indeks rule of law di bawah 0,7 seperti Rwanda, India, China, Bangladesh, Vietnam dan Myanmar memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5 persen. Sedangkan negara yang masuk dalam kategori berpenghasilan tinggi dengan skor indeks rule of law yang juga tinggi (di atas 0.98) memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi di bawah 5 persen, sebagian besar sekitar 2 persen.

Brian Tamanaha (2011, 245), seorang profesor hukum dari Washington University School of Law yang banyak mengkaji proyek hukum dan pembangunan lembaga donor menyebut bahwa ‘pertumbuhan ekonomi yang eksplosif dapat terjadi pada konteks absennya rule of law’. Sementara itu, para praktisi Bank Dunia Caroline Sage dan Michael Woolcock (2012, 2) menyatakan bahwa sistem hukum di banyak negara sasaran bantuan pembangunan tetap lemah dan disfungsional meskipun telah banyak dana bantuan yang dikucurkan selama beberapa dasawarsa. Dan, hal ini juga terjadi di negara-negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengesankan.

Karena itu, pertanyaan yang lebih penting untuk dianalisis adalah mengapa pembangunan ekonomi bisa berjalan tanpa kebebasan politik?

Pertanyaan ini membawa kita untuk menganalisis amatan sosiologis, ketimbang mengajukan pandangan normatif-moralis perihal kompatibilitas liberalisme politik dengan ekonomi. Faktanya, di beberapa tempat liberalisme ekonomi dapat berjalan beriringan dengan iliberalisme politik. Lebih jauh dapat dikemukakan bahwa liberalisme, baik dalam arena politik maupun ekonomi, dapat ditegakkan sejauh memberi perlindungan terhadap hak atas properti serta upaya akumulasi kekayaan privat.

Persentase kenaikan GDP Vietnam, Cina dan India, tiga negara dengan skor indeks rule of law rendah. (Sumber: World Bank)

Sementara adanya korupsi yang endemik, terlebih tidak adanya penegakan hukum dan HAM tidak selalu menjadi kendala bagi pembangunan ekonomi suatu negara. Disertasi saya (2019) berjudul State of Disorder: Non-State Violence in Post-Authoritarian indonesia di University of Melbourne telah berupaya membuktikan proposisi tersebut, setidaknya dari aspek penggunaan kelompok-kelompok kekerasan serta reproduksi ketidakpastian hukum khususnya di bidang pertanahan sebagai medium penting dalam memaksimalkan upaya konsentrasi kapital dan kekuasaan. Ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga di banyak negara pasca-kolonial.

Maka tidak mengherankan, pelemahan lembaga antikorupsi di Indonesia dilakukan bersamaan dengan upaya penciptaan lingkungan yang kondusif bagi investasi. Beberapa pejabat di level kementerian era Jokowi bahkan menilai pemberantasan korupsi sebagai penghambat investasi. Padahal lembaga anti-rasuah ini merupakan simbol penting reformasi hukum di Indonesia.

Berbagai lembaga donor sejak tahun 1970-an sebenarnya telah mengakui kegagalan proyek reformasi hukum sebagai bagian dari upaya pembangunan sistem hukum dan politik yang liberal di ‘negara-negara berkembang’. Kegagalan itu berkaitan dengan proses transplantasi institusi liberal yang mengabaikan konteks sosial-politik yang berbeda di negara target dan karena itu dinilai bersifat etnosentris dan orientalis. Implisit di dalam kritik itu bahwa liberalisme hukum dan politik tidak selalu menjadi prasyarat bagi pembangunan ekonomi.

Namun, lembaga-lembaga donor tetap melanjutkan proyek serupa dengan membawa logika yang sama yang berpijak pada asumsi Weberian bahwa liberalisme hukum dan politik adalah kondisi yang memungkinkan (elective affinity) bagi perkembangan kapitalisme. Ada dua pendekatan setidaknya yang digunakan dalam proyek bantuan rule of law ini, termasuk yang diterapkan di Indonesia.

Pertama adalah pendekatan institusionalis yang menekankan penguatan kapasitas kelembagaan dan agen-agennya sebagai aspek pokok yang dapat menentukan tegaknya supremasi hukum dan HAM. Ini terlihat misalnya dari program-program pendidikan dan pelatihan HAM yang ditujukan pada aparat penegak hukum, praktisi dan aktivis yang banyak dibiayai oleh lembaga donor.

Perspektif kedua menekankan perbedaan kultural yang mengadvokasi pengakuan terhadap pluralitas sistem legal sebagai aspek penting dalam implementasi program reformasi hukum. Dari sini lahir konsep legal pluralism yang menegaskan bahwa sistem hukum formal-rasional tidak selalu bisa dipaksakan menggantikan tatanan legal tradisional yang bahkan mungkin bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. Ini dapat diamati dari program-program bantuan yang memperkuat mekanisme hukum non-litigasi dalam penyelesaian sengketa atau program rekognisi terhadap hukum adat.

Kelemahan mendasar perspektif institusionalis dalam menjelaskan kegagalan proyek liberalisme hukum adalah ia menimpakan kesalahan pada lemahnya kapasitas lembaga dan agen-agennya seakan keduanya steril dari hubungan-hubungan kekuasaan yang menentukan bekerjanya institusi-institusi hukum dan politik. Sedangkan kelemahan pendekatan legal pluralism terletak pada kecenderungannya yang meletakkan sumber persoalan pada ketidakmampuan masyarakat dalam mengadaptasi sistem hukum yang rasional. Argumen semacam ini juga kembali mereproduksi pandangan etnosentrisme.

Analisis yang mengemuka pada akhirnya tampak memisahkan hubungan pembangunan hukum dengan pembangunan ekonomi. Padahal, keduanya sebenarnya berpijak pada pandangan normatif Weberian mengenai hubungan liberalisme politik dan hukum dengan liberalisme ekonomi. Di samping itu, penjelasan kedua perspektif di atas mengisolasi aspek politik dan hubungan-hubungan kekuasaan yang membuat absennya liberalisme politik dan hukum. Akibatnya, keduanya mengabaikan kenyataan dalam banyak kasus bahwa secara relatif iliberalisme tidak selalu mengganggu performa ekonomi suatu negara.

Tulisan Khan dan Jomo (2000) mengenai kapitalisme kroni—sistem ekonomi yang berbasis pada hubungan kronisme antara pengusaha dan pejabat—telah menunjukkan bukti-bukti empiris di beberapa negara Asia bahwa perilaku pencari rente (rent-seeking behaviour), korupsi dan hubungan patron-klien yang endemik tidak selalu menjadi penghambat pembangunan. Namun demikian, keduanya belum memberikan penjelasan secara memadai mengapa perkembangan kapitalisme di suatu negara dapat ditopang oleh perilaku rente.

Pemahaman atas sejarah perkembangan kapitalisme di suatu negara sebenarnya bisa memberi petunjuk dalam menjawab pertanyaan di atas. Perkembangan kapitalisme di Indonesia, seperti juga di banyak negara pasca-kolonial, memiliki watak yang berbeda dengan yang dapat diamati di negara-negara Eropa. Perbedaan watak kapitalisme ini turut menentukan perbedaan institusi-institusi sosial dan politik yang terbentuk di suatu negara.

Dalam sejarahnya, kapitalisme di Indonesia tidak tumbuh dari dorongan kekuatan yang bersifat internal, melainkan lahir dan diintroduksi dari luar melalui kolonialisme. Ciri yang paling menonjol adalah kapitalisme berevolusi dalam situasi ketiadaan borjuasi yang kuat, namun sekaligus memberi ruang yang besar bagi negara sebagai substitusi kelas kapitalis. Hubungan semacam ini menjadi landasan pentingnya akses dan kontrol terhadap otoritas publik sebagai medium signifikan dalam akumulasi kapital dan kekuasaan. Tumbuhnya kelas kapitalis di Indonesia tahun 1980-an juga ditopang oleh hubungan semacam itu.

Situasi ini yang menjelaskan bagaimana korupsi menjadi endemik serta bagaimana upaya penegakan supremasi hukum dan HAM serta pembentukan lingkungan politik yang liberal menghadapi banyak tantangan. Pembentukan sistem hukum dan politik yang liberal justru tidak menjadi prasyarat penting dalam akumulasi kekuasaan dan kapital.

Dalam konteks ini, liberalisme politik serta supremasi hukum dan HAM adalah hambatan dalam proses akumulasi kapital, sedangkan iliberalisme telah menjadi sarana yang memfasilitasi. Dengan kata lain, upaya penegakan supremasi hukum dan HAM serta pembentukan lingkungan politik yang liberal mustahil dapat dilakukan tanpa memperhatikan hubungan-hubungan kekuasaan yang memungkinkan iliberalisme politik menjadi watak demokrasi dan kapitalisme di Indonesia.

Berita terkait

Mengenal Terowongan Silaturahmi Penghubung Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang Didatangi Paus Fransiskus

2 hari lalu

Mengenal Terowongan Silaturahmi Penghubung Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang Didatangi Paus Fransiskus

Terowongan silaturahmi yang dikunjungi Paus Fransiskus bukan sekadar untuk penyeberangan, melainkan juga simbol toleransi antarumat beragama

Baca Selengkapnya

Selain Gratiskan Tiket, Benteng Vredeburg Yogyakarta Sediakan Layanan Antar Jemput Kelompok Rentan

9 hari lalu

Selain Gratiskan Tiket, Benteng Vredeburg Yogyakarta Sediakan Layanan Antar Jemput Kelompok Rentan

Kelompok rentan disabilitas, lanjut usia, juga ibu hamil bisa menikmati layanan antar-jemput Benteng Vredeburg Yogyakarta mulai awal Agustus 2024

Baca Selengkapnya

Ubah Formasi Batuan Berusia 140 Juta Tahun, Dua Pria Nevada AS Dituntut 10 Tahun Penjara

10 hari lalu

Ubah Formasi Batuan Berusia 140 Juta Tahun, Dua Pria Nevada AS Dituntut 10 Tahun Penjara

Kedua pria tersebut mendorong bongkahan formasi batuan kuno ke tepi tebing dekat Redstone Dunes Trail di Area Rekreasi Nasional Danau Mead Nevada.

Baca Selengkapnya

Strategi Pj. Gubernur Heru Menekan Pengangguran di Jakarta

11 hari lalu

Strategi Pj. Gubernur Heru Menekan Pengangguran di Jakarta

Warga yang mencari lowongan kerja atau pelatihan meningkatkan keahlian dapat melihat informasi di laman milik dinas yang mengurusi ketenagakerjaan.

Baca Selengkapnya

PDIP Berpeluang Usung Anies Maju di Pilkada Jakarta, Cak Imin: Semoga Lancar

13 hari lalu

PDIP Berpeluang Usung Anies Maju di Pilkada Jakarta, Cak Imin: Semoga Lancar

Cak Imin merespon peluang pencalonan Anies oleh PDIP untuk Pilkada Jakarta.

Baca Selengkapnya

BPOM Sebut Galon Guna Ulang Rawan Terkontaminasi BPA

28 hari lalu

BPOM Sebut Galon Guna Ulang Rawan Terkontaminasi BPA

elaksana Tugas Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Ema Setyawati mengatakan mayoritas kemasan galon air minum yang digunakan masyarakat memiliki potensi terkontaminasi senyawa kimia Bisfenol A atau BPA.

Baca Selengkapnya

Cabut Seluruh Keterangan di Kasus Vina, Liga Akbar: Banyak Orang Baik Dukung Saya, Dulu Tidak Ada yang Percaya

38 hari lalu

Cabut Seluruh Keterangan di Kasus Vina, Liga Akbar: Banyak Orang Baik Dukung Saya, Dulu Tidak Ada yang Percaya

Dalam sidang PK Saka Tatal, Liga Akbar mencabut seluruh BAP yang ia berikan dalam kasus Vina Cirebon. Merasa lebih tenang.

Baca Selengkapnya

Resensi Buku: Pengaruh Asing Dalam Kebijakan Nasional

41 hari lalu

Resensi Buku: Pengaruh Asing Dalam Kebijakan Nasional

Sebagai sebuah pembahasan, buku ini berusaha menganalisis faktor-faktor yang memiliki pengaruh dalam kebijakan pengembangan industri pesawat terbang nasional.

Baca Selengkapnya

Politikus Demokrat Timo Pangerang Diduga Rangkap Jabatan, Ada Indikasi Benturan Kepentingan di LPS

52 hari lalu

Politikus Demokrat Timo Pangerang Diduga Rangkap Jabatan, Ada Indikasi Benturan Kepentingan di LPS

Politikus Partai Demokrat A.P.A Timo Pangerang diduga rangkap jabatan sebagai kader partai dan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Baca Selengkapnya