Pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly dalam konferensi antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC) seperti ironi di panggung sandiwara. Yasonna mengklaim bahwa pemerintah Indonesia sedang memperkuat upaya memerangi rasuah melalui revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Klaim tersebut jauh panggang dari api. Di dalam negeri, Undang-Undang KPK hasil revisi terus dipersoalkan. Pegiat antikorupsi dan ahli hukum yang berakal sehat menilai undang-undang itu telah mengubur hidup-hidup KPK. Komisi antikorupsi, yang semula merupakan penegak hukum independen, dikerdilkan menjadi bagian dari eksekutif. Wewenang KPK dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pun dilemahkan.
Kemunduran dalam pemberantasan korupsi gara-gara revisi Undang-Undang KPK sedemikian terang. Misalnya, korupsi di Indonesia kini dianggap sebagai kejahatan biasa karena pemeriksaan tersangka merujuk pada hukum acara pidana umum. Kewenangan pemimpin KPK sebagai penanggung jawab tertinggi penyidikan dan penuntutan pun dihapus dan diambil alih oleh dewan pengawas. Tindakan penyidik untuk menggeledah, menyita, dan menyadap harus seizin dewan pengawas. Sedangkan status pegawai KPK, yang semula independen, kini tunduk pada aturan pegawai negeri biasa.
Pernyataan Yasonna bahwa revisi Undang-Undang KPK dimaksudkan untuk menjamin perlindungan hak asasi pun mengada-ada. Korupsi jelas-jelas merupakan kejahatan luar biasa dengan kerugian atau korban yang luar biasa pula besarnya. Fakta lainnya, ketika masyarakat sipil dan mahasiswa berunjuk rasa menolak revisi Undang-Undang KPK pada September lalu, justru pemerintah yang layak disebut melanggar hak asasi. Pemerintah, dalam hal ini kepolisian, menggunakan kekerasan untuk membungkam hak asasi warga negara dalam berkumpul dan menyatakan pendapat. Dua mahasiswa meninggal diduga karena kebrutalan aparat. Tak terhitung pula berapa jumlah pengunjuk rasa yang terluka.
Walhasil, penjelasan Yasonna dalam konferensi PBB seperti menyembunyikan sesuatu di tempat terang. Protes masyarakat atas revisi Undang-Undang KPK tak hanya diberitakan media nasional. Media internasional pun banyak yang menyoroti hal tersebut. Di tengah derasnya arus informasi seperti saat ini, upaya menyamarkan fakta tak hanya sia-sia, tapi juga hanya mempermalukan diri.
Yasonna lebih baik menjelaskan dengan jujur dalam forum UNCAC perihal betapa sulitnya memerangi korupsi yang mengakar di pemerintahan dan korporasi. Apalagi tak sedikit kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan aktor atau perusahaan lintas negara. Pemerintah Indonesia seharusnya mendorong peningkatan kolaborasi antarnegara dalam memerangi korupsi.
Bila mau nekat, bisa saja Yasonna menjelaskan mengapa pemerintah Indonesia mengubah pendekatan dalam memerangi korupsi. Misalnya, membangun argumen bahwa pemberantasan korupsi yang mengutamakan penindakan tak sejalan dengan strategi pembangunan, mengganggu investasi, dan membuat pejabat pemerintah takut mengambil keputusan. Memang, dengan berargumen seperti itu, boleh jadi Yasonna akan ditertawai. Tapi, paling tidak, dia akan dianggap lebih jujur mewakili sikap pemerintah Indonesia. Benar atau salah argumen tersebut urusan belakangan. Namanya juga sedang bersandiwara.
Catatan:
Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 19 Desember 2019