Bawono Kumoro
Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan The Habibie Center dan Co-founder Indo Riset Konsultan
Pada 2 Desember lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Peraturan tersebut menjadi pedoman teknis bagi penyelenggara pemilihan umum di daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Pilkada terdekat akan dilaksanakan pada 23 September 2020 di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Hal mengejutkan dari peraturan KPU terbaru tersebut adalah ketiadaan larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk maju mencalonkan diri. Sebagai gantinya, peraturan KPU mengimbau partai politik untuk mengutamakan kandidat yang bukan berstatus mantan narapidana korupsi.
Padahal, sebelum peraturan itu resmi dikeluarkan, KPU sangat bersemangat untuk memasukkan ketentuan tersebut. KPU berdalih, apabila ketentuan larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri tetap dimasukkan, regulasi yang mengaturnya tidak dapat diundangkan karena tak ada aturan perundang-undangan yang melarang hal tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi beberapa hari lalu juga mengatakan bahwa mantan narapidana korupsi dapat maju dalam pilkada setelah lima tahun selesai menjalani pidana penjara. Kemudian ia juga harus mengumumkan secara terbuka kepada publik mengenai rekam jejak sebagai mantan narapidana korupsi, dan ia bukan pelaku tindak pidana berulang.
Kasus korupsi mantan Bupati Kudus, Muhammad Tamzil, menjadi salah satu alasan mengapa KPU saat itu berkeinginan melarang mantan narapidana korupsi maju mencalonkan diri. Tamzil terjerat operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 26 Juli 2019. Sebelumnya, Tamzil pernah terjerat kasus korupsi ketika menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008. Pada 2014, Tamzil divonis bersalah dalam kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kudus. Setelah bebas pada 2015, ia kembali maju dalam pilkada 2018 dan terpilih kembali sebagai Bupati Kudus.
Partai-partai politik umumnya berjanji atau berusaha tak akan mengajukan mantan narapidana korupsi sebagai calon kepala daerah. Komitmen mereka perlu diapresiasi, tapi, tentu saja, disertai catatan bahwa komitmen itu sungguh direalisasi dalam perhelatan pilkada 2020. Publik tidak akan lupa akan dusta sejumlah partai politik dalam pemilihan umum legislatif lalu. Menjelang Pemilihan Umum 2019, partai-partai politik mengumbar janji tidak akan mengusung mantan narapidana korupsi sebagai calon legislator, tapi tetap saja 81 mantan narapidana korupsi masuk daftar calon yang diumumkan oleh KPU.
Keinginan dan nafsu kekuasaan dari mantan narapidana korupsi untuk kembali mencalonkan diri dalam pilkada harus dihadang. Sikap mantan narapidana korupsi untuk berkeras kembali mencalonkan diri dalam pilkada merupakan bentuk pengabaian etika dalam berpolitik. Begitu juga dengan partai politik yang memberi ruang pencalonan bagi mantan narapidana korupsi. Sekalipun tidak ada aturan hukum yang melarang, partai politik harus tetap mempertimbangkan etika politik tersebut. Sebagai salah satu pilar utama demokrasi, partai politik harus berdiri di barisan terdepan dalam memberikan pendidikan politik kepada publik bahwa jabatan publik di lembaga eksekutif dan legislatif harus diisi figur-figur beretika dan berintegritas.
Harus diakui, setelah dua dekade berjalan, eksistensi demokrasi di Indonesia masih dinodai berbagai perilaku korup elite politik, termasuk kepala-kepala daerah. Kontestasi elektoral (pilkada dan pemilihan umum) selama ini sering kali dinodai oleh berbagai tindak pidana korupsi. Sejumlah kasus yang tengah ditangani KPK juga memiliki keterkaitan dengan kontestasi elektoral tersebut. Data menunjukkan jumlah kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan KPK pada 2018 paling besar (20 kepala daerah), sedangkan pada 2019 tercatat sembilan kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan KPK.
Undang-undang pilkada dan undang-undang pemilu belum mampu menghadirkan jawaban mengenai integritas peserta pemilu. Pengaturan dan mekanisme sanksi di kedua regulasi tersebut belum berubah secara signifikan. Kerangka hukum yang menjadi dasar pelaksanaan pilkada dan pemilihan umum selama ini belum mampu memberikan jaminan memadai bagi kehadiran sebuah pemilihan umum yang demokratis dan melindungi kemurnian hak pilih warga.
Karena itu, meskipun pelaksanaan pilkada dan pemilihan umum selama ini masih dinodai berbagai tindak pidana korupsi, menuding pemilihan langsung sebagai biang keladi perilaku korup kepala daerah sehingga harus kembali ke pemilihan tidak langsung atau melalui dewan perwakilan rakyat daerah bukanlah sikap bijaksana. Pemilihan langsung mungkin memang berkontribusi bagi kemunculan perilaku korup para kepala daerah, tapi ia bukanlah faktor penentu tunggal.