Nasib KPK di Tangan Mahkamah Konstitusi

Rabu, 4 Desember 2019 07:30 WIB

Polisi yang diselidiki KPK dalam kasus korupsi

Kurnia Ramadhana
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch

Tak kurang dari tiga pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi "turun gunung" untuk mengantarkan langsung permohonan uji formal Undang-Undang KPK yang baru ke Mahkamah Konstitusi pada 20 November lalu. Selain mereka, terdapat dua mantan pemimpin KPK beserta tokoh antikorupsi lainnya. Langkah ini akhirnya diambil seusai atraksi lelucon Presiden Joko Widodo yang terbukti ingkar janji perihal penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) KPK.

Undang-Undang KPK (UU KPK) yang baru resmi berlaku pada 17 Oktober 2019. Langkah yang diambil Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah ini sebenarnya telah dibanjiri kritik tajam dari masyarakat. Bagaimana tidak, momentum, proses pembahasan, hingga substansi undang-undang tersebut justru bertolak belakang dengan agenda pemberantasan korupsi. Namun kritik itu seakan-akan dipandang sebelah mata saja oleh mereka.

Tulisan ini mencoba melihat dari sisi lain. Bukan tentang isi undang-undang tersebut, melainkan proses pembahasannya yang dipandang mengandung sejumlah persoalan serius. Pertama, faktanya, UU KPK tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas DPR pada 2019. Tentu akan muncul banyak pertanyaan, misalnya, apa urgensinya UU KPK dibahas? Bukankah menghasilkan legislasi berkualitas mesti didukung perencanaan yang baik? Apa undang-undang yang telah direncanakan akan dibahas dan disahkan pada 2019 sudah diselesaikan oleh DPR?

Masyarakat tidak dungu dan tentu memahami bahwa dalam keadaan tertentu, DPR atau presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Prolegnas. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun mesti dicatat bahwa kewenangan dua lembaga tersebut dibatasi sepanjang adanya keadaan luar biasa. Apakah revisi UU KPK mutlak harus dilakukan?

Advertising
Advertising

Kedua, rapat paripurna DPR dalam pengesahan UU KPK baru itu diduga tidak memenuhi kuorum. Padahal telah jelas ditegaskan dalam Tata Tertib DPR bahwa setiap rapat pengambilan keputusan mesti dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah total anggota. Pemberitaan di media massa malah menyebutkan bahwa kehadiran anggota saat itu hanya mencapai 80-90 orang dari total 560 anggota DPR. Tentu ini merupakan pelanggaran serius yang dipertontonkan oleh Dewan.

Memang menarik memperhatikan suasana DPR pada saat pembahasan UU KPK baru. Pandangan yang tidak lazim terlihat ketika semua partai politik setuju atas usulan ini. Padahal ada banyak contoh di mana dalam pembahasan undang-undang justru anggota terbelah, paling tidak antara partai koalisi dan oposisi. Namun berbeda perlakuannya untuk UU KPK. Dua kubu tersebut bersatu untuk menghancurkan KPK. Rasanya data ICW, yang menunjukkan 23 orang anggota DPR tersangkut korupsi selama 2014-2019, menjadi relevan untuk menggambarkan adanya upaya balas dendam terhadap lembaga antirasuah itu.

Ketiga, KPK secara institusional tidak pernah dilibatkan dalam tiap tahap pembahasan UU KPK. Padahal yang menjalankan undang-undang tersebut bukan DPR atau presiden, melainkan KPK sendiri. Bagaimana mungkin formula penguatan dapat disematkan pada UU KPK baru, sementara KPK saja tidak pernah diajak membahas undang-undang tersebut? Maka, jika masyarakat mendengar ucapan dari anggota DPR atau presiden yang menyebutkan bahwa UU KPK akan memperkuat kelembagaan KPK, mohon dianggap angin lalu saja karena kedua pihak sebenarnya sedang berhalusinasi.

Secara terang-benderang sekarang terlihat bahwa negara memang tidak pernah menganggap pemberantasan korupsi sebagai sebuah entitas penting. Lebih jauh lagi, kehadiran KPK, yang seharusnya diapresiasi, malah diperlakukan layaknya seorang bayi yang tidak pernah diharapkan kelahirannya.

Karena itu, berdasarkan alasan di atas, menjadi penting untuk melakukan uji formal atas UU KPK. Langkah yang diambil ini pun bukan tanpa dasar. Sebab, Pasal 4 ayat 1 dan 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang menegaskan bahwa permohonan pengujian undang-undang meliputi pengujian formal, tidak terbatas hanya pada ranah materiil.

Kendati sampai saat ini belum ada satu pun putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sebuah undang-undang atas dasar pelanggaran formal, melihat fakta pelanggaran di atas, rasanya sulit untuk membenarkan langkah DPR dan pemerintah. Sebab, menjadi mustahil materiil dalam sebuah undang-undang dipandang sebagai kebenaran jika sebelumnya tidak diikuti oleh tahapan formal yang baik. Malah, akibat serampangannya proses tersebut, semakin terlihat bahwa ada intrik politik di balik pembahasan dan pengesahan UU KPK.

Pada akhirnya, saat ini masyarakat sangat menanti langkah Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi untuk menyelamatkan KPK. Sebab, jika terus-menerus menggantungkan harapan pada Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Perpu KPK, rasanya seperti mimpi di siang bolong.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

31 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

40 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

43 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

59 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya