Wacana Omong Kosong Amendemen UUD

Selasa, 3 Desember 2019 07:30 WIB

Pancasila dan UUD 1945 adalah kesepakatan dan rujukan bersama dalam bernegara dan ber-Indonesia.

Petrus Richard Sianturi
Kandidat Magister Ilmu Hukum UGM

Muncul isu bahwa semakin banyak elite menginginkan presiden boleh menjabat sampai tujuh tahun. Ada juga kabar bahwa, dengan masa jabatan tiga periode, masa kepresidenan akan lebih efektif dalam konteks pembangunan. Isu ini merupakan kelanjutan dari desakan amendemen UUD 1945 dan menghidupkan kembali konsep Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ada apa sebenarnya?

Tulisan ini tidak ingin membahas intrik-intrik politik yang dilakukan elite, melainkan ingin membahas mengapa amendemen UUD, termasuk desakan untuk kembali ke konsep GBHN; masa jabatan presiden yang ditambah dan model pemilihan presiden kembali ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); dari kacamata hukum adalah tidak lebih dari sebuah wacana omong kosong.

Pertama, sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki sejarahnya sendiri. Indonesia sudah merasakan sistem pemerintahan baik parlementer maupun presidensial. Jika beranjak saja dari masa Orde Baru, kita bisa tahu betapa merusaknya sistem (semi-)parlementer kala itu. Tirani mayoritas akan selalu menang.

Kedua, reformasi dengan jelas menginginkan negara ini terbebas dari segala bentuk otoritarianisme dan segala potensi yang memungkinkannya. Empat kali amendemen UUD pasca-kejatuhan Orde Baru jelas menjadi tanda bahwa konsep pemerintahan yang pernah dijalankan pada masa itu memang lemah sama sekali. Mengapa kita malah hendak kembali ke sana?

Advertising
Advertising

Ketiga, amendemen terhadap konstitusi, sebagai instrumen hukum tertinggi dalam hierarki perundang-undangan, menentukan arah Indonesia sebagai negara hukum. Dalam konsep negara hukum, ada dua hal yang harus dijamin: setiap instrumen hukum harus berorientasi pada nilai-nilai masyarakat dan keterlibatan subyek hukum dalam penyusunan dan pembangunan instrumen-instrumen hukum itu. Sejak isu amendemen UUD digulirkan belakangan ini, elite sibuk sendiri dan masyarakat dibiarkan menjadi penonton.

Mudah dipahami bahwa wacana amendemen UUD sekarang ini memang hanya untuk kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Selain itu, dalam logika hukum, wacana amendemen tersebut telah menyalahi semangat pembaruan hukum nasional, yang sejatinya mendudukkan masyarakat sebagai subyek hukum utama. Pelibatan langsung masyarakat adalah semangat UUD saat ini.

Wacana menghidupkan GBHN, misalnya, berarti ingin membuat MPR memiliki kewenangan tertinggi. Sebab, tidak mungkin konsep GBHN dijalankan tanpa menempatkan MPR kembali sebagai lembaga tertinggi negara. Implikasinya jelas bahwa presiden akan kembali menjadi mandataris MPR dan otomatis bertanggung jawab kepada MPR.

Apa dampaknya pada pelibatan masyarakat? Pemilihan presiden secara langsung tidak akan dijalankan lagi, karena kekuasaan menetapkan presiden berada di tangan MPR. Jika demikian, pertanggungjawaban presiden untuk setiap program dan janjinya bukan lagi kepada rakyat, melainkan kepada MPR. Jika konfigurasi politik antara legislatif dan eksekutif seperti yang kita lihat sekarang, hampir tidak ada checks and balances, karena semua dengan sengaja dimasukkan ke dalam satu "kapal". Maka, praktis kepemimpinan eksekutif dan kekuasaan legislatif tidak memiliki kontrol sama sekali.

Itulah mengapa mudah dipahami bahwa, selain keinginan menghidupkan kembali GBHN, usulan amendemen UUD akan selalu terkait dengan masa jabatan presiden. Dalam kacamata negara hukum modern, jika suatu konsep perubahan sistem pemerintahan justru ingin "mematikan" nilai-nilai demokrasi, mengikuti alur pikir Jurgen Habermas mengenai demokrasi deliberatif, konsep itu adalah suatu bentuk kegagalan.

Negara ini memang memerlukan sebuah rancangan besar mengenai arah pembangunan nasional. Namun konsep ini tidak melulu harus berbentuk GBHN, apalagi mengikuti konsep pra-amendemen UUD.

Undang-Undang Rencana Pembangunan Nasional, baik yang jangka menengah maupun panjang, sebenarnya tetap bisa mengakomodasi. Jika persoalannya adalah pada jangka waktu keberlakuan, konsep penyusunan undang-undang ini tidak terbatas pada jangka waktu tertentu. Selama ditentukan oleh undang-undang, berapa pun jangka waktunya sebenarnya tetap bisa diatur.

Ada argumentasi bahwa jika bentuknya adalah undang-undang, ia akan rentan untuk dicabut jika pemerintahan berganti. Argumentasi ini hanya dibuat-buat, karena GBHN juga berpotensi dicabut. GBHN diatur berdasarkan ketetapan MPR dan, sama seperti undang-undang, tetap bisa dicabut jika ada political will untuk itu.

Soal masa jabatan presiden yang ingin ditambah, tidak bisa dibantah, ini semata-mata bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu. Indonesia adalah negara hukum dan isu amendemen UUD serta segala desakan yang mengikutinya akan merusak legitimasi rule of law yang sejak reformasi sudah diusahakan dan ditegakkan. Dampaknya, substansi infrastruktur budaya hukum juga akan rusak.

Kita berada dalam kondisi yang memalukan, karena isu-isu seperti amendemen UUD adalah sebuah kemunduran lantaran tidak didasarkan pada semangat Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Upaya mengubahnya hanyalah berdasarkan kepentingan jangka pendek sekelompok orang yang rela mempertaruhkan masa depan bangsa. Dalam logika negara hukum, isu-isu demikian tidak lebih dari wacana omong kosong yang harus dihentikan.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

21 jam lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

30 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

42 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

58 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

59 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya