Mudarat SKB Anti-Radikalisme

Penulis

Rabu, 27 November 2019 07:30 WIB

Bagi aparatur sipil negara atau PNS, kehati-hatian menggunakan media sosial harus diperhatikan.

PENERBITAN surat keputusan bersama (SKB) lima menteri dan enam kepala lembaga negara tentang penanganan radikalisme di kalangan aparat sipil negara (ASN) amat berlebihan. Pemerintah menjadikan radikalisme sebagai momok, padahal belum membuat definisi dan parameter yang jelas. Tidak semua perbuatan yang dilarang dalam SKB tersebut masuk kategori radikal.

SKB itu membuka ruang bagi masyarakat untuk memberi cap terhadap pegawai negeri yang, antara lain, hanya memberikan "like" pada suatu unggahan yang dianggap radikal di media sosial. Dalam hal menyebarkan kabar yang menyesatkan, seorang ASN mungkin melanggar etik ataupun pidana, tapi belum tentu radikal. Stigmatisasi ini bisa menimbulkan saling curiga di masyarakat seperti pada era Orde Baru, ketika orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintah sampai dilabeli "komunis".

Dengan parameter radikalisme yang masih samar, SKB tersebut juga rentan disalahgunakan. Kritik ASN terhadap pemerintah bisa dianggap sebagai bentuk radikalisme. Karena itu, selain melegalkan prasangka, SKB tersebut berpotensi membatasi kebebasan berpendapat pegawai negeri.

Untuk menangani perilaku lancung ASN, pemerintah sebenarnya memiliki inspektorat, Komisi Aparatur Negara, dan Ombudsman. Adanya satuan tugas anti-radikalisme yang dibentuk berdasarkan SKB itu justru memotong fungsi lembaga-lembaga tersebut. Karena itu, ketimbang membentuk satuan tugas khusus, pemerintah sebaiknya memberdayakan lembaga yang ada.

Penanganan radikalisme di kalangan ASN memang penting. Tapi membuat instrumen yang berlebihan, seperti SKB, tidaklah perlu. Pemerintah semestinya menggunakan pendekatan yang cenderung preventif dan edukatif. ASN harus mendapat pemahaman bahwa mereka adalah pelayan publik yang profesional, yang semata-mata mengabdi kepada negara. Cara ini lebih baik dibanding hal yang bersifat hukuman.

Advertising
Advertising

Pemberantasan radikalisme yang serampangan justru akan mengaburkan akar masalahnya. Kebijakan semacam itu ibarat mengusir tikus ke bawah karpet. Tikus terus ada dan beranak-pinak. Pemerintah seharusnya mengembangkan budaya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dalam iklim demokrasi yang sehat, masyarakat tak akan gampang terhasut rayuan radikalisme.

Alih-alih mengatasi radikalisme, pemerintah malah memupuk ketakutan yang berlebihan di masyarakat. Selain perihal SKB ini, Presiden Joko Widodo dan sejumlah menterinya berulang-ulang pula menyampaikan jargon anti-radikalisme. Ini berbahaya, karena ketakutan akan hantu Islam radikal bisa membuat sebagian orang memaklumi tindakan sewenang-wenang pemerintah. Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, diamini sebagian masyarakat karena mereka percaya bahwa lembaga antikorupsi itu telah dikuasai kelompok Islam garis keras yang sering disebut "Taliban". Padahal revisi tersebut memangkas kewenangan dan independensi KPK.

Karena itu, publik harus tetap awas. Jangan sampai ketakutan yang berlebihan terhadap radikalisme membuat kita enggan memprotes ketika demokrasi dan segenap produk reformasi dilucuti satu per satu. Terbitnya SKB anti-radikalisme jelas merupakan kemunduran. Pemberlakuannya membawa kita seperti kembali ke era Orde Baru.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

29 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

41 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

57 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya