Kembalikan LSF ke Komisi Pendidikan

Kamis, 7 November 2019 08:20 WIB

Lembaga Sensor Film atau LSF melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 tahun 2019 tentang Pedoman Penyensoran di Medan, Jumat 9 Agustus 2019. TEMPO | Sahat Simatupang

Kemala Atmojo
Pengamat Perfilman

Saya kembali terkejut ketika mendengar Komisi Komunikasi dan Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan rapat dengar pendapat dengan Lembaga Sensor Film (LSF) pada 4 November lalu. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan orang-orang di DPR, termasuk sekretariatnya, sehingga LSF masih menjadi mitra komisi ini. Apakah karena meneruskan kebiasaan lama, ketidaktahuan adanya perubahan, atau ada maksud lain di belakangnya?

Apakah orang-orang DPR itu tidak tahu bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film sudah diganti? Dalam kedua peraturan perundangan-undangan yang dikeluarkan pada zaman Orde Baru itu, film berada di bawah Departemen Penerangan. Maka, masuk akal jika LSF menjadi mitra kerja Komisi Komunikasi, yang antara lain membidangi masalah informasi, keamanan, dan luar negeri.

Tapi, setelah reformasi, undang-undang lama itu diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009, yang menempatkan perfilman, termasuk LSF, di lingkup kebudayaan. Adapun menteri yang dimaksudkan dalam undang-undang baru tersebut adalah menteri yang membidangi urusan kebudayaan. Undang-Undang Perfilman baru ini ingin menggeser posisi film dari rumpun politik menuju rumpun kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Karena itu, ia seharusnya menjadi mitra Komisi Pendidikan, yang antara lain membidangi masalah pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan olahraga.

Sementara dalam peraturan pemerintah lama anggota LSF diangkat oleh presiden atas usul menteri, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014, anggota LSF diseleksi oleh panitia seleksi dan diangkat oleh presiden. Unsur pemerintah, yang dalam peraturan pemerintah lama cukup dominan, diubah menjadi lebih banyak unsur masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya, LSF tidak bisa lagi seenaknya memenggal adegan tanpa berdialog dengan pemilik film.

Advertising
Advertising

Jadi, adanya RDP pada awal bulan ini menimbulkan tanda tanya. Dugaan paling ramah adalah DPR meneruskan kebiasaan lama dan tidak mengetahui adanya perubahan peraturan. Dugaan lain, adanya kekacauan DPR dalam memahami perbedaan antara Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan LSF. Pengaturan Dewan Pers terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, KPI dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan LSF dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

LSF dan KPI mempunyai latar belakang sejarah yang berbeda. Singkatnya, sementara LSF meneruskan kebijakan kolonial Belanda, KPI lahir dari sejarah politik yang relatif baru. Pada zaman Orde Baru, lembaga penyiaran berada di bawah kontrol penuh penguasa dan digunakan secara maksimal untuk kepentingan penguasa. Pada era reformasi, penyiaran didasari prinsip keberagaman isi dan kepemilikan yang menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali ranah penyiaran.

Lalu, karena spektrum frekuensi radio merupakan ranah publik dan sumber daya alam yang terbatas, frekuensi tersebut harus digunakan untuk kepentingan publik. Dengan demikian, lembaga penyiaran diharapkan dapat menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat dalam arti seluas-luasnya. Untuk menjaga tujuan itulah dibentuk KPI.

Jadi, kata kunci tentang KPI adalah "penggunaan frekuensi milik publik yang terbatas". Sementara itu, bioskop adalah usaha swasta murni yang tidak ada urusan dengan frekuensi publik. Orang menonton film di bioskop tidak gratis. Bahwa ada film yang ditayangkan di stasiun televisi lalu diawasi oleh KPI, hal itu boleh-boleh saja.

Apa yang sebenarnya mengkhawatirkan jika LSF-dan perfilman-menjadi mitra tetap Komisi Komunikasi? Persoalannya tentu bukan sekadar masalah legalitasnya, tapi juga pada bayangan menakutkan tentang segala hal yang bisa terjadi pada kemudian hari. Pertama, misalnya, posisi film sebagai produk seni budaya akan tereduksi menjadi "sekadar" produk komunikasi massa. Kedua, secara politis, situasi itu akan dirasa mundur ke era Orde Lama atau Orde Baru, ketika pemerintah memegang kontrol utama dalam hal seni dan informasi. Ketiga, khusus mengenai keanggotaan LSF, dikhawatirkan DPR akan terlalu jauh terlibat dalam seleksi anggotanya.

Film memang bukan semata-mata produk hiburan. Ia bisa memberi informasi atau bermuatan ideologi tertentu. Namun film sebagai karya seni tetap harus dipandang sebagai produk seni budaya. Para seniman yang berkreasi itu dilindungi oleh konstitusi, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, juga Undang-Undang Hak Cipta.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, misalnya, sensor tidak dilihat dengan pendekatan keamanan. Di sana dikenal apa yang disebut rating system yang dibuat oleh Motion Picture Association of America (MPAA). Tujuannya adalah membantu orang tua dan calon penonton menentukan film apa yang cocok bagi anaknya atau mereka sendiri. Kategorisasi (G, PG, PG-13, R, dan NC-17) itu dibuat oleh asosiasi produser, sementara pelaksanaan dan pengawasannya oleh lembaga independen The Classification and Ratings Administration (CARA). Jadi, bukan oleh negara.

Pada akhirnya, kembalikanlah LSF menjadi mitra kerja tetap Komisi Pendidikan.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

3 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

12 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

33 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

41 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

45 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya