Osbin Samosir
Pengajar Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
Media Inggris, The Guardian, menulis editorial pada edisi Ahad, 3 November lalu, mengenai periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Media itu mengkritik Jokowi tidak bisa diandalkan karena mengangkat Prabowo Subianto, rivalnya dalam pemilihan presiden selama dua periode, sebagai Menteri Pertahanan sesuatu yang tabu bagi demokrasi Barat.
Masuknya Prabowo, Ketua Umum Partai Gerindra, ke Kabinet Indonesia Maju membuktikan bahwa postur demokrasi Indonesia kita bukanlah demokrasi seperti yang dipahami Barat dan Amerika Serikat sebagai model demokrasi modern saat ini. Demokrasi Barat merupakan perkembangan dari liberalisme, yang tumbuh sejak akhir abad ke-19 di negara-negara Barat.
Format demokrasi Indonesia yang digagas oleh bapak pendiri bangsa adalah demokrasi gotong-royong. Bagaimana kedua demokrasi ini bisa dipahami?
Prabowo menyemarakkan peta politik Indonesia sejak pemilihan presiden 2014 dan berlanjut dalam pemilihan presiden 2019. Pertarungan antara Jokowi dan Prabowo dalam kedua pemilihan tersebut telah menguras sangat banyak energi akibat emosi primordial dan isu-isu identitas.
Sisa-sisa pergolakan politik identitas sangat terasa hingga ke masyarakat paling bawah. Tidak jarang terjadi keretakan hubungan keluarga serta putusnya hubungan persaudaraan dan pertemanan akibat pembelahan isu-isu identitas.
Dalam paham sangat sederhana, demokrasi liberal meletakkan pihak yang kalah sebagai oposisi dan menjadi penyeimbang terhadap semua kebijakan pemerintah yang berkuasa. Adam Smith, tokoh demokrasi liberalisme klasik, mengusung isu "laissez faire et laissez passer" yang meletakkan kebebasan individu.
Demokrasi liberal sangat menghormati martabat individu yang berwenang untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya. Negara tidak perlu terlalu banyak campur tangan karena individu bersangkutan paling paham apa yang perlu untuk dirinya.
Negara cukup sebagai "penjaga malam" saja. Maka, persaingan antar-individu sangat dianjurkan, sehingga yang bertahan hanya orang-orang yang kuat, sehat, unggul, dan berkarakter pemenang. Jadi, kepunahan si lemah adalah pupuk bagi liberalisme.
Dalam urusan bernegara, liberalisme meletakkan si pecundang di pihak oposisi. Kubu oposisi mengkritik kebijakan pemerintah dengan menawarkan solusi-solusi alternatif yang dianggap lebih berpihak pada kepentingan rakyat. Nanti, dalam pemilihan umum, rakyat menghukum partai berkuasa jika gagal memenuhi harapan mayoritas publik dengan tidak memilihnya kembali.
Format demokrasi demikian terjadi di seluruh daratan Eropa dan Amerika, seperti dipraktikkan Partai Demokrat versus Partai Republik di Amerika Serikat atau Partai Konservatif versus Partai Buruh di Inggris. Partai-partai lain biasanya melibatkan diri ke salah satu kubu.
Walaupun Indonesia menganut prinsip demokrasi dalam sistem bernegara, demokrasi kita tidak seperti demokrasi liberal Barat dan Amerika. Format demokrasi liberal sangat tidak cocok dengan fatsun dan tata krama budaya lokal Indonesia.
Sukarno menjelaskan kelemahan demokrasi liberal dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1945: "Kita sudah lihat di negara-negara Eropah… adalah parlementaire democratie… Tetapi tidakkah di Eropah djustru kaum kapitalis meradjalela?"
Para pendiri bangsa menolak demokrasi liberal, sebagaimana diungkapkan Sukarno: "Wakil kaum buruh jang mempunjai hak politiek itu, di dalam Parlemen dapat mendjatuhkan minister. Ia seperti Radja! Tetapi di dalam dia punja tempat bekerdja, di dalam paberik, sekarang ia mendjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar ke djalan raja, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa."
Para pendiri bangsa bersepakat bahwa demokrasi yang kita anut adalah demokrasi yang khas Indonesia. Ia digali dari dasar musyawarah yang sudah berlangsung ribuan tahun di desa-desa di seluruh Indonesia. Demokrasi yang khas itu adalah demokrasi gotong-royong. Sukarno menegaskan dalam rapat BPUPKI, 1 Juni 1945: "Gotong-rojong adalah faham jang dinamis, lebih dinamis dari ‘kekeluargaan’, saudara-saudara!"
Demokrasi gotong-royong tidak mengenal oposisi, mengedepankan musyawarah, menjaga harmoni, dan memelihara nilai-nilai keakraban dalam kohesi sosial. Demokrasi gotong-royong adalah demokrasi kekeluargaan yang menempatkan semua warga negara sebagai satu keluarga.
Supomo, dalam sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, berujar, "Negara bersandar atas kekeluargaan. ... Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai pula dengan tjorak masjarakat Indonesia."
Demokrasi gotong-royong adalah khas Indonesia. Ia menjalin kebersamaan dengan semua pihak, tidak memerlukan kritik tajam yang melukai sesama anggota keluarga, apalagi sampai memecah kerukunan.
Musyawarah dikedepankan sebagai upaya mencari solusi alternatif. Fokus negara kekeluargaan adalah merekatkan semua anak-anak bangsa sebagai sebuah keluarga, persis seperti keluarga batih di lingkup kecil.
Demokrasi kekeluargaan itu dipraktikkan oleh Prabowo dengan masuk ke Kabinet Indonesia Maju. Prabowo menunjukkan bahwa tidak baik memelihara jejak kelam di batin masyarakat akibat pemilihan presiden 2014 dan 2019.
Apakah Prabowo salah atas pilihan demokrasi tersebut? Bagi penganut demokrasi modern, sikap Prabowo itu salah. Tapi Prabowo setia kepada harapan para pendiri bangsa bahwa semua warga negara adalah sebuah keluarga.
Lalu bagaimana dengan masa depan demokrasi Indonesia? Memang Indonesia tidak memiliki sejarah dan tradisi demokrasi sebagaimana demokrasi modern dipahami. Sampai saat ini, Indonesia masih mencari sosok demokrasi yang tepat untuk dirinya. Setidaknya demokrasi Indonesia mengedepankan penegakan hak asasi manusia sebagai prinsip dasar demokrasi di seluruh dunia dengan bentuk atau format yang khas Indonesia, yakni gotong-royong, bukan liberalisme.