Reformasi Peran Bank Indonesia

Senin, 4 November 2019 07:30 WIB

Logo Bank Indonesia. REUTERS/Iqro Rinaldi/File Photo

Didin S. Damanhuri
Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi IPB

Dalam perekonomian modern, Bank Indonesia sebagai bank sentral sudah seperti "jantung" kehidupan. Jika fungsi BI terganggu, perekonomian akan sakit. Sementara itu, sistem perbankan sudah seperti "aliran darah" di dalam tubuh manusia. Jadi, bila terjadi penyumbatan, misalnya ke otak, akan terjadi stroke yang mematikan.

Dengan pengandaian itu, kita dapat memahami mengapa terjadi resesi, krisis, atau depresi perekonomian. Misalnya, krisis moneter pada 1997/1998 yang mengakibatkan kurs rupiah menyentuh Rp 18 ribu per dolar Amerika dan inflasi hingga 70 persen serta kontraksi (pertumbuhan negatif) perekonomian -14 persen. Salah satu penyebabnya adalah gagalnya fungsi BI sebagai lender of last resort dalam pengaturan makroprudensial maupun mikropudensial.

Salah satu hal terpenting setelah krisis moneter itu adalah terjadinya reformasi BI dan perbankan, sehingga BI menjadi lembaga independen serta tegaknya prinsip makroprudensial dan mikroprudensial dalam pengelolaan perbankan di Indonesia. Akibatnya, rupiah stabil, inflasi terkontrol, dan pertumbuhan ekonomi kembali terdongkrak.

Namun, setelah lebih satu setengah dasawarsa, reformasi BI dan perbankan belum cukup karena negara belum berhasil menciptakan kesempatan kerja yang layak bagi setiap warga negara dan pembangunan ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Advertising
Advertising

Hal ini terlihat dari proporsi sektor informal yang masih sangat besar, sekitar 60 persen. Padahal pembangunan ekonomi seharusnya makin memperkecil sektor informal karena banyaknya angkatan kerja yang terserap ke dalam sektor formal serta bertambahnya pengangguran total. Selain itu, pembangunan gagal mengatasi ketimpangan antar-golongan pendapatan, antar-sektor, dan antar-wilayah. Dengan demikian, dalam ukuran konstitusi, BI belum sepenuhnya merealisasi kewajiban konstitusionalnya.

Hal yang lebih mendasar adalah fakta bahwa penempatan kebijakan moneter ternyata tidak cukup mampu mendorong tercapainya kesejahteraan umum melalui peningkatan pemerataan, peningkatan kesempatan kerja, serta dukungan yang cukup bagi berkembangnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Fenomena ini mengkonfirmasi berbagai kasus peranan bank sentral di negara berkembang, ketika peran bank sentral tidak cukup hanya sebagai faktor penjaga stabilitas makroekonomi.

Dengan demikian, terdapat urgensi untuk merevisi Undang-Undang Perbankan. Urgensinya terletak pada upaya memerankan BI sebagai agen pembangunan dan menegakkan kedaulatan di sektor keuangan. Seiring dengan upaya pemulihan perbankan dari krisis 1997/1998, pemerintah membuka ruang kepemilikan modal asing di sektor perbankan yang bisa mencapai 99 persen. Namun, saat krisis telah usai, batasan kepemilikan modal asing tidak direvisi kembali. Fenomena suku bunga riil yang jauh lebih tinggi dibanding negara-negara lain yang setara membuat masuknya modal asing secara masif ke sektor perbankan tidak terhindarkan.

Tanpa regulasi yang ketat terhadap modal asing di sektor perbankan, tingkat kerentanan perekonomian terhadap krisis akan meningkat. Sebab, bersamaan dengan dibuka lebarnya porsi kepemilikan asing, Indonesia juga menganut sistem devisa bebas, ketika hilir-mudik modal bisa masuk dan keluar secara bebas. Dalam kondisi krisis, dengan mudah pemodal asing mengalihkan modalnya dari anak cabang (di Indonesia) ke perusahaan/perbankan induk (di luar negeri) yang dapat memperparah keadaan.

Sementara itu, revisi Undang-Undang BI harus lebih menegaskan posisi independensinya secara eksplisit, dengan arah independensi BI dari sisi instrumen. Dari sisi tujuan, BI tidak bisa independen dari tujuan nasional. Dari sini, keseimbangan antara fungsi BI sebagai agen stabilisasi dan agen pembangunan perlu dilakukan dengan penguatan Undang-Undang BI yang selaras dengan tujuan nasional. Sementara itu, revisi Undang-Undang Perbankan harus mengarah pada upaya untuk menciptakan kedaulatan sektor keuangan, pembentukan modal dalam negeri, peningkatan akses kredit bagi UMKM, serta terdistribusikannya likuiditas (kredit) secara lebih rata ke daerah-daerah.

Fungsi BI dan perbankan nasional juga perlu ditambah dengan fungsi sebagai agen pembangunan, terutama dalam penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang merata. Kedua fungsi ini, dalam praktik pengelolaan sektor moneter di Indonesia, tidak dapat dipisahkan. Hal ini mengingat faktor-faktor penyebab instabilitas perekonomian tidak sepenuhnya bersumber dari sektor moneter, tapi juga dari sektor riil, seperti inflasi yang bersumber dari pangan dan energi. Dengan demikian, fungsi stabilisasi ekonomi yang dilakukan oleh BI hanya akan berjalan dengan efektif apabila ditopang oleh fungsi sebagai agen pembangunan, yakni penciptaan lapangan kerja, peningkatan akses kredit lebih besar bagi UMKMK, dan pemerataan akses kredit ke daerah.

Tantangan pembangunan nasional dalam perekonomian dunia yang semakin mengglobal membutuhkan sinergi dan peran sistem perbankan dalam pembangunan dan stabilitas perekonomian. Revisi Undang-Undang BI dan Undang-Undang Perbankan yang mengarah dan mengembalikannya pada tujuan nasional dapat menjadi titik awal pembangunan yang menyejahterakan rakyat.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

24 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

36 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

51 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

52 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya