Tantangan Pertanian Menteri Syahrul

Penulis

Khudori

Kamis, 31 Oktober 2019 07:00 WIB

Politisi Partai Nasdem Syahrul Yasin Limpo tiba di Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Selasa, 22 Oktober 2019. ANTARA

Khudori
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan

Presiden Joko Widodo menunjuk Syahrul Yasin Limpo sebagai Menteri Pertanian menggantikan Amran Sulaiman. Politikus Partai NasDem yang dua periode menjabat Gubernur Sulawesi Selatan itu memiliki rekam jejak panjang di birokrasi. Meniti karier dari bawah, Syahrul dipastikan mengenal betul watak dan perilaku birokrasi. Memang ada perbedaan antara posisi menteri dan gubernur. Gubernur mengurus segala urusan, termasuk masalah pertanian, di wilayah provinsi, sedangkan menteri mengurus masalah sektoral untuk wilayah negara. Pengalaman Syahrul yang cukup berhasil mengurus sektor pertanian di Sulawesi Selatan menjadi modal penting untuk memimpin Kementerian Pertanian.

Namun jalan yang akan dilalui Syahrul untuk membangun pertanian dan pangan lima tahun ke depan bukan jalan yang mudah. Hal ini tidak terlepas dari aneka masalah yang membelit sektor pertanian dan pangan. Diperlukan langkah-langkah taktis, konsisten, dan berkesinambungan dengan melibatkan para pihak dalam kerja-kerja teknokratis ke depan. Langkah ini bisa dimulai dengan perumusan aneka masalah di sektor pertanian dan pangan, kemudian mencari jalan keluarnya.

Saat ini, sektor pertanian dan pangan setidaknya mengidap lima masalah. Pertama, keterbatasan lahan. Dari luas daratan Indonesia sebesar 190 juta hektare, hanya 30 persen yang bukan kawasan hutan. Sebagian dari kawasan non-hutan itu untuk pertanian. Alih-alih bertambah, dari tahun ke tahun lahan pertanian justru menciut karena konversi ke penggunaan non-pertanian. Lahan sawah hanya seluas 7,1 juta hektare. Lahan ini menjadi rebutan banyak komoditas: padi, jagung, kedelai, tebu, sayur, dan komoditas lain.

Lahan terbatas membuat pilihan pun menjadi terbatas, sehingga mustahil bisa mencapai swasembada banyak komoditas. Ini mengharuskan kepintaran memilih dan memilah: komoditas apa yang harus diprioritaskan dan apa yang harus ditinggalkan. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, ekstensifikasi menjadi keharusan. Lahan-lahan sub-optimal, seperti lahan kering dan rawa, bisa menjadi kandidat. Masalahnya, inovasi, teknologi, dan pelbagai ikutan untuk pengembangan amat tertinggal. Sebab, selama ini fokus pemerintah banyak tercurah ke lahan sawah. Orientasi ini yang harus mulai berubah.

Advertising
Advertising

Kedua, produktivitas yang rendah. Untuk beberapa komoditas, seperti padi, produktivitas petani sudah mencapai ujung. Namun produktivitas komoditas lain, seperti tebu, kedelai, dan jagung, masih perlu ditingkatkan. Kesenjangan antara penelitian dan panen aktual di petani masih amat tinggi. Selain mengadopsi varietas unggul, kesuburan tanah-tanah yang sebagian besar kelelahan perlu dipulihkan. Hal yang tak kalah penting adalah terobosan inovasi dan teknologi untuk melipatgandakan hasil. Sementara pada era 1970-an teknologi Revolusi Hijau menjadi jawaban atas stagnasi produksi, perlu dicari inovasi untuk pelipatgandaan produksi di lahan terbatas.

Ketiga, kualitas sumber daya manusia yang rendah. Sekitar 72 persen petani cuma tamat sekolah dasar atau bahkan tak sekolah. Kapasitas pendidikan yang rendah membuat adopsi inovasi dan teknologi lambat. Pembebasan biaya pendidikan sekolah menengah dan alokasi 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk pendidikan di berbagai daerah belum memperkecil angka itu. Mirisnya lagi, sebagian besar petani berada di ujung usia produktif. Menurut Survei Pertanian Antar-Sensus (SUTAS) 2018, 64 persen pekerja sektor pertanian berusia lebih dari 45 tahun. Diperlukan terobosan agar pertanian tidak terancam gerontrokrasi.

Keempat, kesejahteraan petani. Penguasaan modal (lahan dan pendanaan) petani amat terbatas. Hasil SUTAS 2018 menunjukkan 15,8 juta rumah tangga petani (57,1 persen) adalah gurem (lahan kurang dari 0,5 hektare), naik dari Sensus Pertanian 2013 yang sebesar 55,3 persen. Keterbatasan modal tanah membuat pertanian tak lagi menjadi gantungan hidup. Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 oleh Badan Pusat Statistik mendapati rata-rata pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian cuma

Rp 12,4 juta per tahun atau Rp 1 juta per bulan, jauh dari upah layak buruh pabrik.

Pendapatan ini hanya mampu menopang sepertiga kebutuhan mereka. Sisanya disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti mengojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar. Fakta ini menunjukkan tak ada lagi "masyarakat petani", yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu. Karena tak menjanjikan kesejahteraan, logis kiranya pertanian dijauhi tenaga kerja muda terdidik. Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian perlu dievaluasi dengan tujuan bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan dan berkelanjutan.

Kelima, absennya kelembagaan. Sejak Kementerian Negara Urusan Pangan dibubarkan pada 1999, tak ada lagi lembaga yang merumuskan kebijakan serta mengkoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan. Selain itu, otonomi daerah membuat produksi pangan domestik menjadi urusan daerah, tapi peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah. Ini semua memperparah kinerja produksi pangan domestik.

Itulah masalah-masalah yang harus dihadapi Syahrul bila ingin membenahi pembangunan pertanian dan pangan negeri ini.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

4 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

13 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

34 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

42 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

46 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya