Publik perlu memelototi lebih ketat kinerja anggota DPR yang bertugas sejak 1 Oktober lalu. Latar belakang sebagian besar dari mereka sebagai pengusaha memicu kekhawatiran: mereka bisa saja menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya ketimbang kepentingan publik.
Berdasarkan penelusuran lembaga non-pemerintah pemerhati isu sumber daya alam Yayasan Auriga Nusantara dan Tempo, setidaknya ada 262 (45,5 persen) orang dari 575 anggota DPR itu yang terafiliasi dengan perusahaan. Singkatnya, wakil rakyat periode 2019-2024 ini banyak yang memiliki latar belakang pengusaha.
Sebenarnya bukanlah dosa bila anggota DPR berasal dari pengusaha. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang juga berhak punya wakil di DPR. Tapi apa yang terjadi pada DPR periode lalu, ketika revisi sejumlah undang-undang lebih menguntungkan pengusaha, tidak bisa diabaikan. Ada potensi konflik kepentingan yang bisa mendorong anggota DPR periode ini melakukan hal serupa, yakni mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang publik.
Proklamator Mohammad Hatta menyebut politik, peran yang dimainkan anggota DPR, sebagai "upaya menyelenggarakan kemaslahatan bagi orang banyak". Sedangkan dunia usaha biasanya lebih peduli pada kalkulasi dan akumulasi keuntungan. Ini dua arena yang tidak jarang bertentangan. Karena itu, perlu pembatasan yang jelas di antara kedua kutub tersebut.
Dalam sistem demokrasi yang sudah matang, tempat regulasi dan etika dijunjung tinggi, latar belakang anggota DPR sebagai pengusaha bisa saja membawa manfaat. Pengetahuan dan kemampuan anggota Dewan sebagai pengusaha bisa menjadi modal bagus untuk menyusun regulasi, membahas anggaran, serta mengawasi kinerja pemerintah. Ada pula pandangan optimistis seperti ini: anggota DPR yang sudah mapan secara ekonomi ada kemungkinan lebih fokus dalam memperjuangkan kepentingan publik.
Masalahnya, sepak terjang DPR selama ini kurang mencerminkan semangat itu. Banyak undang-undang yang dibuat tanpa proses deliberasi publik. Pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menunjukkan betapa pandangan publik tidak dianggap penting oleh Dewan dalam proses legislasi.
Sebenarnya DPR punya kode etik internal untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Kode etik DPR yang dirumuskan pada 2011 dan kemudian diperbarui pada 2015 itu memuat ketentuan tentang apa yang harus dilakukan wakil rakyat. Antara lain, anggota legislatif harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Faktanya, perilaku menyimpang anggota Dewan terus terjadi. Menurut catatan KPK, setidaknya ada 23 anggota DPR periode 2014-2019 yang ditangkap dan diproses hukum. Kasus terbanyak adalah menerima suap, meminta komisi proyek, dan memperdagangkan pengaruh. Padahal selama ini DPR mendapat pengawasan ketat dari KPK. Setelah revisi undang-undang memangkas secara signifikan wewenang KPK, korupsi di DPR akan semakin sulit diberantas.
Dalam situasi seperti ini, pengawasan oleh masyarakat sipil, termasuk melalui media massa, menjadi sangat penting.