Terguncang Demo Milenial

Penulis

Selasa, 1 Oktober 2019 11:20 WIB

Mahasiswa berhasil menerobos pagar kawat berduri pertama yang menghalangi langkah mereka menuju Gedung DPR, Senin 30 September 2019. TEMPO/Lani Diana

PRESIDEN Joko Widodo semestinya menyadari bahwa demonstrasi mahasiswa dan pelajar kali ini bukanlah fenomena biasa. Gelombang unjuk rasa di Jakarta dan sejumlah kota lain itu merupakan tamparan keras bagi Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Aksi mereka seolah-olah mengirim pesan: para elite penguasa tidak bisa seenaknya mengatur negara dengan mengabaikan kepentingan publik.

Generasi milenial yang dikira apatis ternyata peduli terhadap urusan negara. Mereka memprotes Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang terlalu mengurusi privasi dan moral warga negara-masalah yang memang menyentuh langsung kepentingan generasi mereka. Mahasiswa pun menyoroti isu kontroversial yang lain, seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Wajah mereka masih imut dan lucu. Poster-poster yang mereka bawa pun berisi kata-kata jenaka. Tapi keliru besar jika pemerintah menyepelekan aspirasi mahasiswa dan pelajar. Apalagi mereka mewakili kelompok umur 15-24 tahun, yang mencapai 40 juta jiwa-masuk kelompok besar dalam piramida kependudukan. Salah pula bila pemerintah menghadapi demo milenial dengan cara represif karena justru makin memancing kemarahan khalayak.

Tragedi Kendari seharusnya tidak perlu terjadi. Immawan Randi, mahasiswa Universitas Halu Oleo, tewas tertembak saat demo di depan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara, pekan lalu. Rekannya, Yusuf Kardawi, yang terluka dan sempat dirawat di rumah sakit, akhirnya juga meninggal. Adapun di Jakarta, seorang mahasiswa Universitas Al-Azhar Indonesia, Faisal Amir, terluka parah akibat demo di depan DPR pekan lalu.

Pemerintah mesti segera mengusut tuntas tragedi itu. Kepolisian juga perlu mengungkap pedemo bayaran yang selalu menunggangi aksi mahasiswa. Merekalah yang biasanya membikin rusuh. Upaya merusak demonstrasi mahasiswa dengan cara kotor seperti itu mengingatkan kita pada pola yang sering diterapkan Orde Baru.

Advertising
Advertising

Jokowi seharusnya paham bahwa pendekatan keamanan tidak akan efektif meredam kekesalan publik. Mengerahkan para pendengung (buzzer) untuk mempengaruhi opini masyarakat juga malah memperkeruh suasana. Para mahasiswa pun tidak bisa dipaksa mendekam di kampus tanpa ikut memikirkan urusan negara. Presiden semestinya tidak memerintahkan Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi Mohamad Nasir meredam demo di kampus-kampus. Cara pembungkaman seperti ini hanya akan mencederai kebebasan berpendapat.

Akar persoalan sebenarnya justru berada pada penguasa. Pemerintah Jokowi terkesan terlalu jemawa setelah melakukan konsolidasi politik pasca-pemilihan umum. Presiden Jokowi berhasil merangkul Prabowo Subianto, rivalnya dalam pemilihan presiden yang lalu. Partai politik juga berlomba-lomba merapat ke pemerintah dan tak satu pun menyatakan beroposisi.

Situasi itulah yang boleh jadi membuat Jokowi terlena. Pemerintah mulai mengingkari amanat reformasi dengan dalih untuk melancarkan investasi dan pembangunan. Presiden lalu merestui pengerdilan Komisi Pemberantasan Korupsi lewat revisi Undang-Undang KPK. Setelah demonstrasi terjadi di mana-mana, barulah Jokowi mengubah sikap. Ia mempertimbangkan membikin peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) mengenai pembatalan revisi Undang-Undang KPK yang telah disetujui DPR.

Alasan pemerintah bahwa keberadaan KPK menghambat investasi jelas mengada-ada. Logikanya, pemberantasan korupsi justru akan memangkas ekonomi biaya tinggi dan menghemat anggaran negara. Pelemahan lembaga ini hanya akan membuat para politikus dan elite penguasa leluasa melakukan korupsi atau menerima suap. Motif tak elok seperti ini mudah tercium oleh masyarakat.

Rancangan undang-undang yang lain pun lebih banyak melindungi kepentingan penguasa ketimbang masyarakat. Rancangan KUHP, misalnya, memuat pasal penghinaan yang bertujuan menjaga martabat presiden dan wakil presiden. RUU Pemasyarakatan juga menjadi sorotan karena memberikan hak remisi dan rekreasi bagi koruptor. Adapun RUU Pertanahan lebih memihak pada kepentingan pengusaha. Konsesi pemakaian tanah negara dipermudah dan diberikan dalam jangka waktu yang lebih lama.

Dipilih langsung oleh rakyat, Presiden Jokowi semestinya tidak menciptakan tatanan yang hanya menguntungkan segelintir elite politik. Sikap elite partai politik tak bisa menjadi pegangan karena belum tentu mencerminkan kepentingan publik. Mereka cenderung bersikap pragmatis. Partai politik terkesan hanya membutuhkan suara pemilih pada saat pemilu.

Demo kaum milenial sebetulnya tengah mendobrak sistem politik kita yang memanjakan elite penguasa dan mengabaikan kepentingan khalayak.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

29 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

41 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

56 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya