Suram

Rabu, 25 September 2019 07:30 WIB

Dari dalam tong tempat ia tinggal, Diogenes memandang politik dan manusia dengan suram. Athena di abad ke-4 sebelum Masehi baginya adalah ruang keserakahan dan hipokrisi.

Ada sebuah anekdot: sehabis sebuah peperangan, orang dari tepi Laut Hitam ini ditangkap pasukan Raja Philip dari Makedonia yang sedang menaklukkan wilayah sekitarnya. Ia dianggap mata-mata musuh. Filosof itu mengaku: "Aku memang memata-mataimu-mematai-matai nafsumu yang tak pernah terpuaskan."

Dewa-dewa, katanya suatu ketika, memberi kita kehidupan yang cukup, tapi manusia melupakan itu dengan mencari hal-hal yang berlebih. Sang filosof gelandangan mengajarkan moral yang memujikan hidup dengan hasrat minimal, abrapxeia.

Ia sendiri tak ingin punya rumah. Di malam hari ia tidur dalam sebuah tong. Di siang hari ia berkeliling Athena, memprovokasi orang banyak untuk berpikir, dengan perilaku dan pertanyaan. Tak jarang seperti anjing menyalak ia cerca mereka yang ia anggap munafik.

Pernah dikisahkan, ia berjalan di bawah matahari membawa lentera ke mana-mana: "Aku mencari orang yang jujur."

Advertising
Advertising

Jelas ia beranggapan: orang jujur tak ada. Diogenes, seperti kita baca dari sejarah filsafat Yunani, adalah salah seorang pelopor aliran yang disebut "Sinis"-kata yang bermula dari kata Yunani Kuno κυνικς (kynikos), yang berarti "mirip anjing". Sebutan ini mungkin karena Sinisme dikenal dari diskusi di gimnasium Cynosarges ("tempat anjing putih") di Athena.

Kini "sinis" berarti mencemooh apa saja, yang baik ataupun yang buruk. Kini pandangan yang kehilangan kepercayaan kepada manusia ini bahkan nyaring, bahkan menusuk.

Ada suatu masa ketika orang menaruh kepercayaan bahwa cita-cita menuju kebaikan bersama akan menggerakkan manusia. Cita-cita itu bernama "demokrasi". Bisa dikatakan ia bertolak dari sebuah "modal sosial": sikap saling mempercayai para warga masyarakat, sehingga dengan mudah bisa berembuk dan bekerja sama, hingga cita-cita tak hanya tinggal impian dalam isolasi.

Ada kalimat terkenal Reinhold Niebuhr dalam The Children of Light and the Children of Darkness: "Kemampuan manusia untuk adil membuat demokrasi mungkin; tapi kecenderungan manusia untuk tak adil membuat demokrasi diperlukan."

Tapi masihkah kata-kata itu berlaku? Kini orang patut bertanya: benarkah manusia mampu berlaku adil? Sungguhkah demokrasi diperlukan ketika kita menyaksikan kebusukan manusia?

Mari lihat demokrasi di Hungaria. Seperti diceritakan majalah The Economist baru-baru ini, Fidesz, partai yang menang pemilu dan memegang tampuk pemerintahan, menggunakan kekuatannya di parlemen untuk mengendalikan pengadilan, menguasai bisnis, membeli media, dan memanipulasi aturan pemilihan umum. Perdana Menteri Viktor Orban tak perlu melanggar undang-undang; ia menggerakkan parlemen untuk mengubah undang-undang sesuai dengan kehendaknya. Tak perlu polisi membungkam musuh, cukup pemerintah menyuap media, atau menggertak dengan pajak. Demokrasi di Hungaria sungguh berkibar, tapi berkibar juga apa yang dilihat Diogenes dengan suram: keserakahan dan hipokrisi.

Juga di Indonesia. Setelah pemilihan 2019 yang jujur dan bersih, setelah harapan bangkit untuk masa yang lebih baik, ternyata para penyusun undang-undang (di parlemen dan di pemerintahan) bisa dengan enteng menyisihkan tuntutan keadilan yang disuarakan di masyarakat. Bahkan bisa mereka siapkan undang-undang yang mengancam hak dasar manusia.

Sejenis sinisme merayap. Di luar parlemen dan pemerintahan, orang sulit lagi percaya ada niat baik di lembaga-lembaga resmi. Di dalam parlemen dan kabinet, sinisme tumbuh dalam bentuk lain: para politikus dan pejabat tak percaya bahwa kerja politik untuk keadilan dan kemerdekaan bakal ada hasil dan manfaatnya.

The Economist benar, setidaknya sebagai peringatan: sinisme adalah sebuah fenomena yang mencemaskan di awal abad ke-21. Dalam sebuah survei tahun lalu, hampir 70 persen orang Amerika dan Prancis mengatakan para politikus mereka korup alias busuk dan dusta. Lebih dari separuh pemilih di delapan negara di Eropa dan Amerika Utara menyatakan kepada The Pew Research Centre bahwa mereka tak puas dengan kerja demokrasi.

Demokrasi memang kisah ketidaksempurnaan manusia. Demokrasi menjadi sistem untuk mengantisipasinya. Sejarah menunjukkan politik dalam sebuah sistem parlementer tak bisa mencapai hal-hal yang muluk. Bahkan Bismarck, Perdana Menteri Prusia abad ke-19 yang menghalalkan cara dengan "darah dan besi", adalah orang pertama yang mengakui politik itu kiat untuk hal-hal yang mungkin saja: "Politik ist die Kunst des Möglichen." Proses politik, sebagai "the art of the possible", selalu dibatasi kondisi yang nyata, selalu berkompromi, ada negosiasi, bahkan hipokrisi.

Tak berarti kita akan menirukan Diogenes. Bukan saja kita akan enggan tidur dalam tong tiap malam, tapi sinismenya, pandangannya yang suram tentang manusia, meletakkan rintangan sebelum orang bertindak.

Tapi ada kearifan didapat ketika "Si Anjing" menyalak: politikus bukanlah makhluk yang bisa selalu dipercaya sebelum dan sesudah pemilu. Meskipun kita bisa diam-diam berharap ada politik lain yang akan tumbuh, politik tanpa politikus-politik yang membawa lentera bukan untuk mencari orang yang jujur, tapi menjadi orang jujur.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

24 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

36 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

52 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

52 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya