Peluang Veto Presiden atas RUU KPK

Penulis

Sulardi

Senin, 16 September 2019 07:30 WIB

Presiden Joko Widodo menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 13 September 2019. ANTARA

Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang akan merevisi Undang-Undang KPK saat ini, telah diserahkan oleh Presiden kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kedua kementerian itu akan mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU yang berasal dari DPR, bila telah mendapat persetujuan dari fraksi-fraksi di DPR, drafnya diserahkan kepada presiden untuk mendapat persetujuan.

Namun mekanisme persetujuan itu masih memerlukan dua tingkatan pembicaraan. Pada tingkat pertama, DPR memberikan penjelasan atas substansi RUU tersebut. Presiden atau kementerian yang mewakilinya lalu menyampaikan pandangan dan mengajukan daftar inventaris masalah. Setelah itu, akan dicari titik temu di antara kedua pihak. Pada tingkat kedua, bila pemerintah menyetujui, RUU itu disahkan dan diundangkan melalui lembaran negara dan berita negara supaya mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, masih ada peluang bagi presiden untuk menolak RUU KPK.

Istilah "veto" sebenarnya tidak dikenal dalam mekanisme penyusunan undang-undang di negara kita. Veto dikenal dalam proses penyusunan undang-undang di Amerika Serikat. Negara itu merupakan negara yang menerapkan prinsip trias politika yang mirip dengan apa yang diinginkan oleh pencetusnya, Montesquieu (1689-1755), yakni pemisahan secara tegas tiga pilar kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Kekuasaan membuat undang-undang di Amerika ada pada lembaga legislatif, yang terdiri atas Senat dan DPR. Dua badan ini mempunyai kesetaraan dalam menyusun undang-undang. UU yang telah mendapat persetujuan bersama antara Senat dan DPR diajukan ke presiden untuk mendapat persetujuan. Ada dua kemungkinan: presiden menyetujui atau tidak. Apabila presiden setuju, RUU itu menjadi undang-undang yang berlaku. Bila presiden tidak menyetujui, RUU tersebut tidak bisa berlaku. Kongres mempunyai daya paksa untuk memberlakukan RUU, dengan cara Senat dan DPR bersidang secara terpisah. Bila salah satunya menolak veto presiden, RUU tetap berlaku tanpa persetujuan presiden.

Advertising
Advertising

Lain halnya dengan model penyusunan undang-undang di Indonesia. Presiden sepenuhnya mempunyai hak veto atas RUU yang diajukan oleh DPR. Hal tersebut tecermin dalam Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 bahwa "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama". Kata "persetujuan bersama" ini merupakan persyaratan mutlak, melekat pada setiap undang-undang yang akan diberlakukan. Jadi, masing-masing institusi mempunyai hak veto atas RUU yang diajukan oleh pihak yang lain.

Persetujuan presiden pada tahap ini berbeda dengan pengesahan. Pada saat presiden bersama DPR membahas undang-undang, kapasitasnya adalah sebagai kepala pemerintahan yang kelak melaksanakan undang-undang tersebut. Adapun pengesahan yang dilakukan oleh presiden itu kapasitasnya sebagai kepala negara. Kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan ini yang sering tidak diperhatikan.

Ketika presiden tidak menyetujui RUU yang diajukan oleh DPR pada tahun pembahasan, hal tersebut merupakan penolakan dari presiden atas RUU itu. Konsekuensinya, RUU itu tidak bisa diajukan lagi. Namun, bila presiden tidak mengesahkan RUU yang sudah mendapatkan persetujuan bersama DPR dan wakil pemerintah, RUU itu akan berlaku 30 hari setelah tanggal persetujuan bersama tanpa ada tanda tangan pengesahan oleh presiden. Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) merupakan salah satu undang-undang yang tidak ditandatangani oleh presiden saat pengesahannya.

Masyarakat menginginkan presiden tidak menyetujui RUU KPK. Saat inilah tahapan itu sedang berlangsung. Presiden punya hak veto untuk tidak menyetujuinya. Jangan salah momentum. Bila presiden tidak mau menandatanganinya setelah adanya persetujuan bersama DPR dan wakil pemerintah, hal itu tidak akan ada artinya. Sebab, 30 hari setelah disetujui bersama oleh DPR dan wakil pemerintah, RUU itu secara legal menjadi undang-undang tanpa pengesahan presiden. Ini namanya kekonyolan yang luar biasa.

Dari sudut politik, bila presiden berkenan untuk tidak menyetujui RUU KPK, presiden akan mendapat standing applause dari masyarakat. Rakyat akan merasakan bahwa suara mereka didengar dan akan melihatnya sebagai keberpihakan presiden terhadap KPK. Ibarat pertunjukan wayang, saat ini merupakan episode terakhir. Ada pilihan mukti atau mati. KPK hidup atau KPK mati. Kedua-duanya ada di tangan Presiden Joko Widodo, untuk menyetujui atau tidak menyetujuinya.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

24 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

36 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

51 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

52 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya