Kongkalikong Impor Gula

Penulis

Kamis, 5 September 2019 07:30 WIB

Ilustrasi gula pasir. shutterstock.com

Penangkapan Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, Dolly Pulungan, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap distribusi gula mengangkat kembali sengkarut kebijakan impor gula nasional. Dolly diduga menerima suap senilai Sin$ 345 ribu dari Pieko Nyotosetiadi, pemilik PT Fajar Mulia Trasindo. Dolly dan Pieko ditetapkan sebagai tersangka bersama Direktur Pemasaran PTPN III, I Kadek Kertha Laksana.

Pada awal 2019, PTPN III menunjuk Pieko dalam skema kontrak jangka panjang untuk mengimpor gula setiap bulan. Menurut aturan internal PTPN, penetapan harga gula seharusnya melalui kajian, tapi pada kenyataannya hanya disepakati oleh tiga pihak, yaitu PTPN III, Pieko, dan ASB selaku Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu RI (APTRI).

Kasus suap ini membuka kembali kongkalikong pengusaha dengan badan usaha milik negara dan pemerintah dalam kebijakan impor gula. Kuota impor gula dimainkan oleh elite politik sebagai salah satu sumber pemasukan dana. Iklim pergulaan sengaja dipertahankan seperti sekarang, sehingga Indonesia akan selalu membutuhkan impor.

Ironis, karena pada masa sebelum Perang Dunia II, Pulau Jawa menjadi salah satu penghasil gula terbesar di dunia sekaligus pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba. Puncak produksi dicapai pada 1931 sebesar 3 juta ton per tahun dengan sekitar 2,4 juta ton diekspor.

Namun, setelah era tersebut, produksi menurun. Pabrik-pabrik besar gulung tikar dan hanya sejumlah pabrik kecil dengan mesin teknologi rendah yang masih berjalan. Itu pun sudah tua. Sekitar 68 persen pabrik gula di Jawa telah berumur lebih dari 75 tahun, yang membuat produksinya tidak efisien. Hal ini diperparah oleh terus merosotnya luas lahan tebu. Pada 2014, lahan tebu tinggal 450 ribu hektare, lalu merosot menjadi 425 ribu hektare pada 2016, dan 420 ribu hektare pada 2017.

Advertising
Advertising

Akibatnya, produksi gula turun, dari 2,5 juta ton pada 2014 menjadi 2,4 juta ton pada 2015, 2,2 juta ton pada 2016, dan 2,1 juta ton pada 2017. Jumlah ini tak mencukupi kebutuhan konsumsi gula nasional yang terus meningkat. Ini menjadi alasan bagi pemerintah untuk membuka keran impor. Menurut Badan Pusat Statistik, impor gula pada 2015 sebesar 3,38 juta ton, lalu melonjak menjadi 4,76 juta ton pada 2016. Sempat turun menjadi 4,48 juta ton pada 2017, tapi naik lagi menjadi 4,63 juta ton pada 2018.

Dalam Rencana Strategi Pembangunan Pertanian 2004-2015, pemerintah mencanangkan swasembada gula pada 2007 atau produksi minimal 2,60 juta ton. Rencana ini tinggal kenangan. Indonesia tak pernah mencapai swasembada gula. Sebaliknya, negeri ini dibanjiri gula impor.

Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan tak pernah serius menangani industri gula nasional. Tidak ada kebijakan yang konsisten dalam membangun industri pergulaan modern dan efisien untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Yang tampak justru jalan pintas, seperti impor gula, yang angka kebutuhan impornya pun terkesan dipaksakan. Bila kebijakan impor gula seperti selama ini dibiarkan, yang untung hanyalah elite-elite politik yang kebagian jatah kuota impor dan kroni-kroni sekitarnya. Jika itu dibiarkan, untuk apa ada Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan?

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

28 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

40 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

56 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya