Pemberdayaan Perempuan Versus Ketahanan Keluarga

Rabu, 4 September 2019 07:00 WIB

Pemberdayaan Perempuan Versus Ketahanan Keluarga

Ani Soetjipto
Dosen Program Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mendadak melontarkan rencana mengganti nomenklatur kementeriannya menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga. Wacana pergantian nama ini sungguh membahayakan dan merisaukan karena sama saja dengan membuat langkah mundur dalam mendomestifikasi dan menempatkan perempuan sebagai obyek.

Mari kembali pada dasar pembentukan kementerian tersebut. Kelahirannya tidak bisa dilepaskan dari mandat perjuangan perempuan di tingkat global dengan diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) oleh Indonesia, 35 tahun lalu. Sejak didirikan pada 1978, kementerian ini sudah empat kali berganti nama, dari Kementerian Urusan Peranan Wanita, Kementerian Peningkatan Peranan Wanita, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, hingga kini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA).

Kita memang melihat sejumlah kemajuan pada kinerja KPPA, seperti kebijakan peningkatan keterwakilan perempuan dalam pemerintahan, kebijakan pengarusutamaan gender, penguatan dan anggaran yang responsif gender, hingga mendekatkan akses perempuan pedesaan dalam program-program pembangunan. Namun kita juga melihat tantangan berat pemberdayaan perempuan Indonesia yang belum direspons optimal oleh KPPA. Setelah 20 tahun reformasi, masih ada rapor relatif merah untuk angka perkawinan anak, angka kematian ibu, stunting, kelaparan, ruang hidup yang tergusur, juga masalah perempuan petani dan buruh migran perempuan.

Lebih merisaukan lagi, kita menghadapi konservatisme agama. Nilai konservatisme agama celakanya banyak dibenturkan dengan nilai kesetaraan dan keadilan gender. Pengaruh konservatisme dan fundamentalisme meluas ke semua kalangan, termasuk ke berbagai institusi pemerintahan, pendidikan, pelayanan publik, hingga ke pertahanan negara.

Advertising
Advertising

Masalah ini sungguh serius. Pemikiran konservatisme agama dan fundamentalisme menggugat kesetaraan dan keadilan gender, hal yang ada dan diperjuangkan sejak republik ini berdiri. Perempuan Indonesia sudah berjuang di ruang publik jauh sebelum negara ini hadir. Perjuangan itu terus berlanjut dan tak pernah surut hingga saat ini.

Komite CEDAW PBB pada 2012 memberikan catatan kritis tentang menguatnya konservatisme di Indonesia. Catatan ini menyoroti bukti empiris tak terbantahkan, yakni adanya peraturan daerah syariah yang mendiskriminasi perempuan di Aceh. Hingga hari ini, situasi menguatnya konservatisme makin mengkhawatirkan dengan adanya segregasi sosial setelah pemilihan presiden 2019.

Diskursus mengubah nama KPPA menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga, dalam konteks menguatnya konservatisme, sungguh membahayakan. Pergantian nama ini merupakan bagian dari agenda kembali mendomestifikasi perempuan Indonesia. Kita sungguh tidak bisa menerima dan perlu menolak gagasan tersebut, yang mengecilkan kembali peran perempuan hanya pada lingkup privat dan domestik, urusan anak dan rumah tangga.

Kita tentu setuju dengan pentingnya ketahanan keluarga, tapi pemaknaan ketahanan keluarga yang benar adalah menjadikan perempuan sebagai subyek, bukan obyek. Ketika gagasan tentang ketahanan keluarga dimaknai perempuan harus diatur pakaiannya, perkawinan anak dibiarkan, atau poligami dianggap biasa, hal ini sama saja dengan langkah mundur.

Ketahanan keluarga dalam diskursus yang berkembang belakangan ini konsepnya sangat berbeda dengan ketahanan keluarga dalam konsepsi yang memberdayakan. Ketahanan keluarga yang diusung KPPA sarat penundukan perempuan sebagai obyek, yang dibebani tanggung jawab domestik dengan serangkaian norma konservatif yang menghambat kemajuan perempuan. Kita lihat belakangan ini ramai kampanye menikah di usia muda, Indonesia tanpa pacaran, menolak keluarga berencana, patuh dan mendukung poligami, serta kampanye menolak agenda penting rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Makna ketahanan keluarga yang benar adalah memastikan perempuan dan laki-laki berpeluang setara mendapatkan perlindungan sebagai dua subyek dalam institusi keluarga. Mereka setara dalam mendapatkan perlindungan kesehatan, perlindungan dari kekerasan, akses makanan bergizi, jam istirahat yang layak dan akses bekerja, serta mengaktualisasi diri di ruang publik. Juga setara dalam pengambilan keputusan atas kegiatan reproduksi hingga perawatan anak.

Konsep ketahanan keluarga seperti definisi tersebut tentu penting sebagai program kerja kementerian, tapi terlalu sempit untuk dijadikan portofolio sebuah kementerian. Nama Kementerian Ketahanan Keluarga akan berimbas pada alokasi kerja dan anggaran program yang hanya terbatas pada urusan ketahanan keluarga. Padahal isu perempuan di Indonesia begitu kompleks dan melampaui urusan domestik semata.

Mengubah nama KPPA menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga adalah sesuatu yang salah langkah dan sesat pikir. Pemerintah justru akan menghambat partisipasi publik perempuan Indonesia yang sudah melangkah sangat cepat dan panjang.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

29 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

41 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

56 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya