Katakan Tidak pada Rancangan KUHP Baru

Penulis

Selasa, 3 September 2019 07:30 WIB

Menyambut KUHP Rasa Kolonial

PEMERINTAH dan Dewan Perwakilan Rakyat harus menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang rencananya dilakukan pada pertengahan bulan ini. Sarat dengan pasal bermasalah, rancangan kitab undang-undang tersebut prematur untuk dijadikan undang-undang.

Sejumlah pasal dalam rancangan itu bahkan lebih buruk dibanding KUHP saat ini-warisan kolonial Belanda yang berusia lebih dari satu abad. Sebagian di antaranya berpotensi mengancam kehidupan demokrasi di negara ini. Misalnya, pemberlakuan kembali pasal penghinaan presiden, yang dulunya diadopsi dari pasal penghinaan terhadap raja atau ratu Belanda. Padahal, Mahkamah Konstitusi sudah menghapus pasal karet itu pada 2006 karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga dianggap tak lagi relevan. Delik itu juga menegasikan kesetaraan semua warga negara di hadapan hukum.

Pemerintah dan DPR pun kembali membangkitkan pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sudah dikubur Mahkamah Konstitusi pada 2007. Rancangan KUHP juga menambahkan pasal penghinaan terhadap pengadilan, yang salah satunya menyangkut integritas hakim. Semua pasal itu jelas mengancam kebebasan berpendapat. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, banyak pengkritik pemerintah yang diadukan ke kepolisian dan diseret ke pengadilan. Bukannya membenahi kondisi itu, lewat rancangan ini, pemerintah dan DPR malah memberi payung hukum bagi tindakan represif. Publik kelak tak lagi bisa dengan bebas menyampaikan pendapat dan kritik karena dapat terkena hukuman pidana.

Tajam kepada mereka yang kritis, pisau Rancangan KUHP justru tumpul terhadap koruptor. Sebagian pasalnya nyata-nyata melemahkan pemberantasan korupsi. Pemerintah dan DPR bersepakat meringankan hukuman bagi koruptor, yaitu minimal 2 tahun bui. Padahal Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa para penggangsir duit negara dihukum minimal 4 tahun kurungan. Begitu pula dengan tindak pidana pencucian uang. Rancangan KUHP menyebutkan hukuman maksimal 15 tahun kurungan dan denda Rp 5 miliar untuk kejahatan tersebut, jauh lebih ringan ketimbang hukuman yang dicantumkan dalam Undang-Undang Pencucian Uang, yaitu 20 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.

Rancangan KUHP yang akan disahkan juga terlihat tidak mengikuti perkembangan zaman, dengan memperkuat vonis hukuman mati. Di banyak negara, vonis hukuman mati sudah ditiadakan karena dinilai melanggar hak asasi manusia dan tak terbukti mampu mengurangi kejahatan. Perserikatan Bangsa-Bangsa pun sudah menyatakan hukuman mati "tak lagi memiliki tempat di abad ke-21 ini". Indonesia justru memilih bertahan bersama 22 negara lain di dunia yang menerapkan hukuman mati.

Advertising
Advertising

Dengan bejibun masalah, sudah sepantasnya pengesahan Rancangan KUHP dibatalkan. Presiden sebaiknya memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menghentikan pembahasan dengan parlemen yang sudah masuk tahap akhir. Pembahasan Rancangan KUHP masih bisa dilakukan oleh DPR periode mendatang, dengan kajian yang lebih komprehensif, terutama pada pasal-pasal yang dianggap bermasalah dan mengancam demokrasi.

Pemerintah dan DPR tak perlu menjadikan KUHP baru sebagai warisan atau keberhasilan legislasi nasional yang tersendat-sendat selama lima tahun ini. Memaksakan pengesahan sebelum masa jabatan DPR periode ini berakhir menunjukkan bahwa pemerintah dan parlemen tak beriktikad baik dalam memperbaiki sistem hukum Indonesia.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

2 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

32 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

40 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

44 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

59 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya