Pergeseran Suprajarto dari posisi Direktur Utama PT Bank BRI Tbk menjadi Direktur Utama PT Bank BTN Tbk yang berujung gaduh pada Kamis lalu menunjukkan belum berubahnya watak Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kementerian yang dipimpin oleh Rini Soemarno itu masih saja mengesampingkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam mengurus perusahaan milik negara.
Pemantik kegaduhan adalah keputusan Kementerian BUMN dalam rapat umum pemegang saham luar biasa Bank BTN menunjuk Suprajarto, yang baru dua tahun memimpin BRI, sebagai bos baru BTN. Suprajarto menolak keputusan itu dengan alasan pergantian posisi dilakukan tanpa komunikasi. Dia pun menyatakan mundur.
Kementerian BUMN seharusnya malu atas penolakan itu. Selain prosesnya tak transparan dan tidak partisipatif, tak ada ukuran yang tegas kapan evaluasi kinerja dilakukan dan apa parameter berhasil atau gagalnya seorang direktur sehingga perlu diganti.
BRI sepanjang 2018 membukukan laba bersihsebesar Rp 32,4 triliun, meningkat 11,6 persen dari tahun sebelumnya. Penopang utama pertumbuhan laba itu adalah penyaluran kredit usaha mikro, kecil, dan menengah yang sejalan dengan fokusmanajemen pada penyediaan akses permodalan bagi UMKM. Mengacu pada kinerja yang baik tersebut, pemindahan Suprajarto ke BTN-yang memiliki aset jauh lebih kecil daripada BRI-cukup mengherankan.
Seharusnya pergantian direksi dilakukan melalui mekanisme rapat umum pemegang saham. Kebijakan mendadak seperti pergantian direksi di tengah masa jabatan hanya akan mengundang kecurigaan. Dampaknya bisa buruk. Apalagi BRI merupakan perusahaan terbuka besar yang diminati banyak investor.
Pemerintah sebaiknya segera menyelesaikan kisruh pergantian direksi BRI dan BTN. Mekanisme perombakan direksi BUMN juga perlu diperbaiki agar transparan dan akuntabel. Jangan sampai BUMN menjadi alat kepentingan pejabat dan elite tertentu, atau bagian dari transaksi politik melalui praktik bongkar-pasang direksi.
Presiden Joko Widodo juga harus menegur keras Menteri Rini yang telah mengabaikan perintahnya untuk tidak merombak jabatan strategis di BUMN hingga akhir periode kabinet saat ini. Selain mengganti direksi BTN dan BRI, Rini merombak pula manajemen Bank Mandiri dan BNI.
Rini juga gagal membina perusahaan negara supaya memenuhi prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Skandal laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk merupakan contoh kacaunya tata kelola perusahaan negara. Selain itu, korupsi merajalela. Tahun ini saja banyak pucuk pimpinan BUMN terjerat kasus korupsi, dari Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara, Sofyan Basir; Direktur Produksi dan Teknologi PT Krakatau Steel Tbk, Wisnu Kuncoro; hingga yang terbaru Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II, Andra Y. Agussalam.
Selanjutnya, pembenahan BUMN mesti menjadi prioritas Jokowi pada periode kedua kepemimpinannya. Pilihlah figur yang kompeten, profesional, dan bersih untuk memimpin Kementerian BUMN. Dia juga harus sanggup mewujudkan tata kelola yang baik serta mencegah korupsi di perusahaan-perusahaan negara.