Empat Kekeliruan Hukuman Kebiri

Senin, 2 September 2019 07:00 WIB

Pemerkosa Yuyun Bisa Lolos Hukuman Kebiri

Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne

Kontroversi hukuman kebiri kini mencuat setelah Pengadilan Negeri Mojokerto memvonis Aris, yang telah memperkosa sembilan anak di bawah umur, dengan pidana penjara 12 tahun serta pidana tambahan kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi elektronik. Jaksa kesulitan mengeksekusi karena Ikatan Dokter Indonesia menolak menjadi eksekutor.

Kerumitan mencari pihak yang menjadi eksekutor kebiri sesungguhnya bukan satu-satunya persoalan. Itu hanya hilirnya. Hulunya adalah kekacauan berpikir para penyusun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Hasrat mereka untuk menjatuhkan hukuman berat bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak bisa dimaklumi. Tapi dampak hasrat yang terlalu menggebu-gebu itu adalah kekeliruan memposisikan kebiri dalam hukum Indonesia. Kekacauan itu terlihat pada empat hal.

Pertama, undang-undang itu menyebut kebiri kimia sebagai hukuman yang disusul rehabilitasi. Berarti, kebiri berlainan dengan rehabilitasi. Padahal kebiri, agar memunculkan efek jera, sejatinya adalah salah satu bentuk rehabilitasi itu sendiri. Rehabilitasi fisik, tepatnya.

Kedua, sebagaimana dinyatakan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kebiri kimiawi diyakini memunculkan efek jera kepada pelaku. Padahal efek jera itu baru muncul ketika kebiri dikemas sebagai bentuk tindakan rehabilitatif, bukan retributif. Pada kenyataannya, kebiri dalam undang-undang adalah kebiri retributif. Kebiri merupakan ekspresi balas dendam, sehingga disebut pula sebagai hukuman tambahan atau hukuman pemberatan terhadap pelaku yang telah menyakiti anak-anak secara seksual.

Advertising
Advertising

Kebiri paksaan sedemikian rupa justru sangat berisiko membuat pelaku menjelma sebagai predator mysoped. Perilakunya semakin brutal, bahayanya kian tinggi. Dulu ia melancarkan aksi bejatnya dengan tangan kosong. Setelah menjalani kebiri paksaan, bisa saja ia menggunakan alat lain. Awalnya, setelah beraksi, ia langsung melarikan diri. Namun, setelah kebiri paksa, sebelum kabur, ia membumihanguskan lokasi kejadian. Itulah gambaran perilaku predator mysoped setelah menerima pengebirian paksa.

Pemerintah berbangga hati menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang memberlakukan kebiri. Pemberlakuan itu dibingkai sebagai suatu gebrakan hukum istimewa, menyusul pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa. Di dalam negeri, putusan kebiri sepenuhnya berada pada kekuasaan hakim. Tidak diharuskan adanya dialog untuk mengetahui tanggapan terdakwa. Begitu putusan tentang kebiri dijatuhkan, mau tak mau, suka tak suka, setuju tak setuju, terdakwa kelak harus menerima azabnya.

Sebaliknya, di luar negeri, kebiri dilakukan berdasarkan permintaan pelaku. Permintaan semacam itu bertitik tolak dari kesadaran yang terbit lebih dulu di dalam benak pelaku. Jadi, wajar jika kebiri rehabilitatif dan terbukti manjur karena berlandaskan pada terbangunnya sikap positif si pelaku sendiri. Kemujaraban kebiri sukarela (kebiri rehabilitatif) itu tertakar pada temuan bahwa dari ratusan predator yang dikebiri kimiawi, yang mengulangi perbuatan jahatnya kurang dari 10 persen. Jelas, tidak ada satu pun obat di muka bumi yang tokcer 100 persen. Maka, bilangan kurang dari 10 persen tersebut memberikan dasar untuk optimistis bahwa tindakan kebiri yang benar akan menghasilkan perubahan tabiat dan perilaku predator.

Karena merupakan tindakan retributif, kebiri di sini dikritik habis-habisan sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan bentuk perlakuan barbar. Pada saat yang sama, di negara-negara lain kebiri justru benar-benar dinilai progresif karena memanusiakan manusia (pelaku).

Ketiga, kebiri kimiawi diyakini memunculkan efek jera. Teknisnya, kebiri dilaksanakan setelah hukuman pokok dijalani pelaku. Padahal efek jera itu baru muncul manakala kebiri (sebagai rehabilitasi fisik) diselenggarakan bersamaan dengan rehabilitasi psikis.

Keempat, undang-undang dan narasi publik tentang kebiri di Indonesia mengasumsikan bahwa predator seksual pasti lelaki. Berlandaskan asumsi itu, berulang-ulang ditabuh bahwa kebiri ditujukan untuk menekan testosteron (hormon seksual yang seakan-akan hanya ada pada lelaki). Ini nyata-nyata bias gender. Penyusun undang-undang dan masyarakat punya cara pandang seksis, tidak obyektif. Alam berpikir mereka kental akan stigma sehingga lahirlah hukum yang diskriminatif. Padahal, menengok berbagai kajian ilmiah, data sensus 2012 di Amerika Serikat, misalnya, menyatakan perbandingan predator seksual lelaki dan perempuan adalah 56,4 dan 43,6 persen. Jadi, dalam konteks kejahatan seksual, anggapan bahwa perempuan adalah sosok lembut tanpa bibit kelakuan jahat seksual perlu dikoreksi besar-besaran. Asosiasi ngawur bahwa kebiri dikenakan bagi pelaku lelaki mutlak perlu dibongkar.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

23 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

35 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

51 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

52 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya