Karnaval

Rabu, 28 Agustus 2019 07:00 WIB

Sebuah kota butuh karnaval, bukan hanya pawai politik. Pawai politik-kita ingat aksi yang dikenal sebagai "212"-memperlakukan jalanan bukan sebagai ruang, melainkan sebagai wadah. Karnaval sebaliknya: ia muncul seperti arus yang mengalir begitu saja; kita lebih mengalami gerak dan derasnya ketimbang mengetahui arahnya. Pawai politik, sebagaimana kongregasi atau ibadah berjemaah, diberi bentuk oleh tujuannya. Karnaval diberi bentuk oleh keasyikan.

Di Jalan Malioboro, Yogya, bulan Juni yang lalu: sebuah flashmob. Di jalan yang dibebaskan dari mobil itu, anak muda muncul satu demi satu dari beberapa sudut, menjejak di aspal di antara dua trotoar, dan berangsur-angsur membentuk tarian bersama-tak disangka-sangka: sebuah beksan klasik dari Keraton. Mereka tampak terlatih. Gerak tangan dan kaki mereka serentak luwes dan gagah, tapi mereka seperti orang-orang yang kebetulan mampir sehabis berbelanja: mengenakan topi baseball, tak melepaskan kacamata hitam, bahkan ada yang masih menggantungkan tas di pinggang.

Bukan, ini bukan karnaval. Spontanitas di Malioboro itu hanya permainan panggung; 16 pemuda itu sudah disiapkan di Kridhamardawa Keraton Yogyakarta beberapa hari sebelumnya. Tapi setidaknya di jalan besar itu dibuka sikap yang menyambut baik sesuatu yang punya kesan spontan, sebuah kebersamaan yang tak agresif, tanpa pekik keagamaan atau partai: sebuah momen yang menyenangkan hati. Barangkali ini embrio sebuah karnaval yang akhir-akhir ini tampak jadi hasrat baru. Di Jakarta: tari cokek bersama. Di Bandung: ketuk tilu....

Memang ada yang memikat ketika sesuatu yang mengasyikkan muncul, dilakukan para pelaku yang tak dibayar, tanpa target dan pedagogi. Artinya tak ada yang diarah kecuali perasaan gembira-seraya tahu, kegembiraan bukan dosa.

Dalam arak-arakan ogoh-ogoh di Bali, misalnya-sebuah parade carnavalesque yang paling menarik di Asia Tenggara-yang dibariskan adalah wajah dan tubuh grotesk, seram, ganjil. Di jalanan yang ramai, dinaikkan di atas truk atau mobil pickup, mereka bukan lagi penggambaran makhluk-makhluk gaib yang menakutkan; orang Bali telah mengalahkan horor dengan humor dan sukaria yang tak berbelit-belit.

Advertising
Advertising

Saya ingat yang dikatakan Mikhail Bakhtin tentang karnaval: di balik imaji-imaji yang grotesk dan kocak itu ada kehendak menghancurkan suasana yang serba serius dan lagak yang mengklaim adanya makna yang "ekstra-temporal", yang tak lekang oleh waktu. "Karnaval membebaskan kesadaran, pikiran, dan imajinasi manusia dan membuka kemungkinan baru."

Dengan kata lain, dalam karnaval, ada energi pembebasan. Dengan memakai karnaval sebagai paradigma, kita akan melihat ruang sebagai ruang, bukan wadah. Ia tetap menjadi bagian laku dan kehidupan (De Certeau akan menyebutnya "a practised space"), di mana bisa lahir yang tak lazim, atau tak dalam rencana besar, tapi melegakan.

Sesungguhnya itu ruang yang kita kenal tapi sering tak kita anggap penting: ruang punakawan dalam wayang. Di sanalah sejumlah peran riuh, penuh gelak, biarpun tak cantik, ganjil, dan rada menakutkan: kontras bagi para kesatria dan putri-putri yang rupawan, yang berbicara halus, teratur, dengan idiom dan isi yang sudah dapat diduga. Para punakawanlah yang melepaskan narasi dari garis dengan satu-dua jurusan dan di saat-saat tertentu membawakan perspektif lain tentang hidup.

Dalam sejarah Eropa, seperti tampak dalam lukisan Bruegel di abad ke-13, kita bisa melihat karnaval yang jadi model theori Bakhtin: sebuah subversi atas masyarakat Abad Tengah yang steril, takut kepada yang ganjil karena dianggap dosa oleh agama. Dengan kata lain, masyarakat yang dikendalikan oleh yang dijuluki Nietzsche sebagai "Roh Gaya Berat": ajaran dan ideologi yang membenci tari, tawa, dan permainan. Politik karnaval menegaskan diri dalam momen-momen yang menggerogoti ketaatan kepada "Roh Gaya Berat" itu.

Kini karnaval bahkan jadi model pembangkangan di jalanan, ketika mahasiswa menggelar demonstrasi dengan parodi dan nyanyian-spontan, tanpa theori revolusi, tanpa organisasi, tanpa program mengambil alih kekuasaan. Kaum revolusioner lama, terutama kaum Bolsyewik, akan menganggap mereka main-main, anarkisme beberapa hari yang percuma. Tapi mereka akan membalas: revolusi politik, termasuk Revolusi Bolsyewik, ternyata hanya memainkan kembali "Roh Gaya Berat": terlampau dibebani ide tentang kemerdekaan masa depan-seperti bujukan surga-tapi mengabaikan kebebasan hari ini.

Tentu, sebuah kota tak harus diselingi pembangkang. Tapi kini hidup butuh keluwesan, gerak ringan, sedikit acuh tak acuh, tapi kreatif, terutama di masa yang cepat berubah. Kini, kita punya generasi yang teladannya hanya pahlawan sinetron: wajah-wajah mulus, bersih, alim, seperti makhluk firdaus. Kita perlu flashmob yang seru-dan generasi yang berani membentak, seperti sajak Yudhistira Adinugraha tiga dasawarsa yang lalu, "Biarin!", generasi yang menderu bersama Ali Topan Anak Jalanan dan mendengarkan Rendra mengumandangkan "kaum urakan". Karnaval.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

5 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

34 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

53 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya