Setelah Pemerdekaan, Pencerdasan

Senin, 19 Agustus 2019 07:00 WIB

Paskibraka mengibarkan Bendera Merah Putih saat upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan ke-74 Republik Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu 17 Agustus 2019. HUT Ke-74 RI mengangkat tema SDM Unggul Indonesia Maju. TEMPO/Subekti.

M. Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

Ketika mendatangi museum perumusan naskah proklamasi di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, saya terbayang propaganda Jepang yang mengklaim dirinya sebagai saudara tua. Karena itulah Bung Karno dan para tokoh nasional bersikap akomodatif, kendati ada juga kelompok yang menentang.

Museum itu merupakan bekas rumah Laksamana Maeda, perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda. Di situlah Sukarno-Hatta merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang hendak dibacakan keesokan harinya, 17 Agustus 1945.

Sebagai saudara tua, Jepang mendekonstruksi banyak hal. Pengorganisasian masyarakat diatur ulang. Organisasi rukun tetangga pun konon bikinan Jepang. Cara bertanam padi yang rapi karena memakai galah ukuran, juga cara Jepang. Militerisasi memang memerlukan disiplin tinggi, kendati kadang berlebihan. Melayangnya ribuan nyawa dalam kerja paksa romusha dan perang tentu tak dapat dilewatkan. Jepang tetaplah imperialis yang menindas rakyat.

Dalam peta global saat itu, Jepang hadir sebagai representasi kekuatan militer dan politik yang mencengangkan dalam Perang Asia Pasifik. Tapi, jauh sebelum itu, sebagai bangsa Asia, Jepang telah mampu menghadirkan harapan baru nasionalisme Asia yang virusnya merembet ke mana-mana. Pankaj Mishra dalam From the Ruins of Empire: The Intellectuals Who Remade Asia (2012) mencatat kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 merupakan pangkal naiknya rasa percaya diri dan nasionalisme Asia.

Advertising
Advertising

Apakah Sukarno di Hindia Belanda, Nehru di India, dan Mustafa Kemal di Turki Usmani sama-sama terinspirasi oleh kejadian tersebut? Mereka menemukan kisah nyata bahwa bangsa Asia yang selama berabad-abad terpuruk oleh bangsa Eropa ternyata mampu bangkit dan menang. Mitos bangsa Asia yang ditakdirkan tak mungkin mampu melawan Eropa patah oleh kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905.

Dari sini bisa dipahami, ketika Jepang hadir menggantikan Belanda, banyak tokoh nasional memandangnya sebagai kekuatan alternatif untuk menyingkirkan penjajah Belanda. Bahkan, pada 1943, Buya Hamka pun berpidato panjang di depan ribuan orang mendukung propaganda Jepang di Medan. Rasa-rasanya semakin mantaplah Indonesia sebagai saudara muda.

Tapi perubahan politik terjadi. Setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, pada 14 Agustus 1945, Jepang resmi menyerah. Para tokoh bangsa memanfaatkan peristiwa itu untuk menyatakan kemerdekaan. Fakta diterbangkannya Bung Karno, Hatta, dan Radjiman ke markas Jepang di Asia Tenggara, Dalat, untuk bertemu dengan Jenderal Besar Terauchi pada 9 Agustus 1945 dan kembali ke Jakarta pada 15 Agustus 1945 menggambarkan pentingnya faktor Jepang, juga kontribusi Laksamana Maeda.

Kini, 74 tahun setelah kemerdekaan Indonesia, kondisi saudara tua telah melesat jauh sebagai negara maju. Kendati pada 1945 jatuh terpuruk, porak-poranda karena perang, Jepang mampu bangkit kembali sebagai negara maju di Asia Timur. Khisore Mahbubani dalam Can Asians Think? (1998) mencatat, Jepang merupakan satu-satunya bangsa di Asia yang paling cepat menerapkan pola Barat dalam pembangunannya.

Saya berdiri di depan poster tua propaganda Jepang di museum itu. Saudara tua itu seolah-olah terheran-heran dengan saudara mudanya, mengapa setelah sekian lama tidak maju-maju sebagai bangsa. Saya terkesiap. Barangkali kita memang telah mampu melakukan proses pemerdekaan. Merdeka dari penjajahan fisik kolonial Belanda dan Jepang. Merdeka dari sistem lama yang tidak demokratis. Dan merdeka sebagai semacam jimat sakti yang selalu hadir pada 17 Agustus, tapi kurang dalam pencerdasan.

Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar sepotong kalimat sakral Pembukaan UUD 1945. Kalimat itu harus terus-menerus kita ikhtiarkan. Hanya dengan kecerdasan tingkat tinggilah kita bisa mengejar bangsa-bangsa maju. Sumber daya manusia unggul, sebagaimana jargon hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-74, menegaskannya. Unggul sudah otomatis cerdas.

Jelaslah bahwa strategi pendidikan dan kebudayaan penting. Hal itu harus bertumpu pada paradigma keadilan sosial. Kesenjangan mutu pendidikan harus diatasi. Kolaborasinya dengan dunia industri harus terus ditingkatkan. Kebijakan zonasi dalam penataan pendidikan sekaligus peningkatan pendidikan vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah tepat. Kebijakan zonasi yang tidak berhenti pada penerimaan peserta didik baru, tapi juga rotasi guru dan perbaikan sarana-prasarana, bukan saja konsekuensi politik pendidikan berkeadilan sosial, melainkan juga menjawab ragam masalah pelik pendidikan dari level mikro. Hambatan birokrasi jelas harus dipangkas.

Itu baru satu langkah yang harus dilakukan secara konsisten. Sinergi antarlembaga, antara pemerintah pusat dan daerah, serta kolaborasi antarpemangku kepentingan harus dipacu. Riset-riset strategis dikembangkan secara keilmuan kolaboratif. Manajemen pemanfaatan potensi diaspora Indonesia harus lebih diefektifkan. Juga dalam konteks pencarian dan penumbuhan bakat-bakat unggul Indonesia.

Kita harus terus bergerak agar bangsa ini semakin cerdas dan cepat bisa menyusul kemajuan saudara tua.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

53 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya