Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada
Secara mengejutkan, pada Ahad, 4 Agustus lalu terjadi pemadaman listrik (blackout) di sebagian wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Tidak seperti biasanya, pemadaman kali ini berlangsung dalam waktu relatif lama, rata-rata di atas delapan jam. Pemadaman ini jelas melumpuhkan kegiatan ekonomi dan industri, bahkan moda raya terpadu (MRT) di DKI sempat terhenti.
Menurut keterangan PLN, pemadaman itu disebabkan oleh adanya gangguan saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) 500 kV, yang awalnya terjadi di Ungaran dan Pemalang, Jawa Tengah, pada sirkuit 1 dan 2. Gangguan kedua sirkuit itu memicu terjadinya penurunan tegangan dan kelebihan pasokan listrik, yang memicu kerusakan jaringan SUTET Depok dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Dampaknya, pemadaman listrik terjadi di sebagian besar wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, serta berpotensi merembet ke Jawa Timur dan Bali lantaran sistem kelistrikan di sepanjang Jawa dan Bali menggunakan sistem paralel. Adapun lamanya pemadaman hingga mencapai delapan jam disebabkan oleh pasokan listrik ke wilayah pemadaman menggunakan pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU), sehingga proses penormalan kembali bergantung pada proses penguapan dalam menghasilkan tenaga listrik, yang biasanya membutuhkan waktu sekitar enam jam.
Dalam menangani pemadaman itu, PLN patut diapresiasi lantaran telah bekerja keras dengan melakukan berbagai upaya maksimal sesuai dengan standar internasional untuk segera menyalakan kembali listrik. Berbagai upaya itu dimaksudkan untuk dapat menekan kerugian material dan keuangan yang menimpa konsumen. Namun perlu diingat bahwa dampak pemadaman dalam waktu lama telah menimbulkan kerugian material dan keuangan dalam jumlah besar bagi konsumen industri, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah atau (UMKM) yang tidak mempunyai genset.
Pemadaman listrik dalam waktu lama itu hampir tidak pernah terjadi karena PLN sudah menerapkan sistem pemantauan digital (DMS) dan sistem perlindungan otomatis (APS) yang canggih. Begitu ada gejala pemadaman, hal itu dapat segera diketahui dan diatasi dalam waktu singkat. Bahkan PLN akan memberi tahu konsumen sebelum pemadaman terjadi. Namun, dalam pemadaman kali ini, PLN seolah-olah tidak dapat berkutik lantaran gangguan awal dari transmisi Ungaran dan Pemalang terjadi secara cepat, yang dalam waktu singkat memicu kerusakan transmisi lainnya di Muara Karang dan Tanjung Priok. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kerusakan transmisi yang terjadi di beberapa wilayah dan dalam waktu yang hampir bersamaan merupakan kecelakaan pemadaman (blackout accident) yangtidak dapat dikendalikan oleh manajemen.
Bagaimanapun, kecelakaan pemadaman telah memurukkan kinerja PLN dalam memperkecil tingkat pemadaman, yang sebelumnya sudah membaik. Kondisi kelistrikan PLN sebenarnya semakin andal, yang ditunjukkan dengan parameter perhitungan pemadaman listrik System Average Interruption Duration Index (SAIDI) dan System Average Interruption Frequency Index (SAIFI). Pada 2016, tercatat per pelanggan bisa mengalami rata-rata 1,53 menit pemadaman, lalu turun menjadi 1,16 menit per pelanggan pada 2017, dan berangsur turun pada 2018 dengan 0,96 menit.
Agar kecelakaan pemadaman tidak terjadi lagi, PLN perlu menginvestigasi penyebab utama pemadaman tersebut. Secara teknis, jaringan listrik Jawa dan Bali memang terhubung "sambung-menyambung" secara paralel. Jadi, kerusakan di Jawa Tengah berpotensi menyebabkan kelebihan pasokan listrik di Jawa Barat dan DKI, sehingga bisa memicu kerusakan transmisi dan pemadaman di dua wilayah terakhir.
Namun kerusakan beruntun tersebut bisa dicegah apabila APS bekerja dengan baik. Dengan APS, kelebihan pasokan dapat dialihkan secara otomatis ke wilayah lain yang kapasitasnya belum maksimal. APS biasanya beroperasi secara berlapis-lapis, sehingga tidak sampai memicu kerusakan beruntun di sejumlah daerah. Jika masih terjadi kerusakan beruntun, berarti ada yang tidak beres dengan APS itu. Jika benar demikian, APS perlu diganti dengan teknologi yang lebih baru.
Di luar masalah teknis tersebut, kecelakaan pemadaman ini diduga berkaitan dengan masalah komando di pucuk pimpinan PLN. Setelah Sofyan Basir mengundurkan diri dari kursi Direktur Utama PLN karena tersandung kasus Riau-1, Menteri BUMN Rini Soemarno tidak segera menetapkan Direktur Utama PLN definitif. Rini hanya menunjuk pelaksana tugas Direktur Utama PLN, itu pun diterapkan secara "arisan", yang dalam kurun waktu pendek sudah ada tiga orang bergantian memegang jabatan itu.
Penerapan "arisan" ini dikhawatirkan dapat mengganggu proses pengambilan keputusan bagi perusahaan sebesar dan sestrategis PLN. Banyak aksi korporasi dan keputusan operasional diperlukan, baik dalam pemantauan dan evaluasi terhadap penggunaan APS maupun upaya-upaya yang harus dilakukan setelah kecelakaan pemadaman, selain keputusan strategis lainnya.
Maka, Menteri BUMN semestinya dapat menggunakan momentum ini untuk segera menetapkan Direktur Utama PLN. Kalau tidak segera ditetapkan, hal itu tidak hanya menghambat penyelesaian masalah pemadaman, tapi juga menaikkan kemungkinan kecelakaan pemadaman akan terjadi lagi dalam waktu yang tidak lama.