Senjakala Pemberantasan Korupsi

Penulis

Senin, 15 Juli 2019 07:00 WIB

Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung mengacungkan ibu jari saat meninggalkan Rutan KPK, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2019. Hakim juga membatalkan putusan pengadilan tingkat banding yang memvonis Syafruddin 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan. TEMPO/Imam Sukamto

MASA depan pemberantasan korupsi di Indonesia makin hari makin suram saja. Kabar buruk terakhir adalah putusan Mahkamah Agung yang membatalkan hukuman bagi Syafruddin Arsyad Temenggung. Bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu sebelumnya telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tapi hakim kasasi membebaskan Syafruddin dengan dalih kasus yang membelit terdakwa bukanlah perkara pidana.

Vonis kasasi Syafruddin diumumkan hanya berselang pekan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menyerahkan jaksa yang ditangkap tangan kepada Kejaksaan Agung. Ada pula rencana mengubah aturan penyadapan. Juga panitia seleksi pemilihan komisioner KPK yang ditengarai tak serius mencari kandidat yang lantang melawan koruptor.

Soal pembebasan Syafruddin Temenggung yang paling menohok. Kasus surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan Syafruddin telah ditelisik KPK pada 2008melewati tiga periode kepemimpinan Komisi. Baru pada April 2017 KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka. Lebih dari setahun kemudian pengadilan membuktikan ia bersalah dan menjatuhi hukuman 13 tahun penjara. Di tingkat banding, vonis diperberat menjadi 15 tahun. Oleh Mahkamah Agung, Syafruddin dibiarkan melenggang begitu saja.

Putusan Mahkamah Agung tentulah menyimpan tanya. Tidak sari-sarinya MA membebaskan terpidana korupsi yang sebelumnya telah diputus bersalah. Oleh Artidjo Alkostar, hakim agung yang baru saja pensiun, hukuman biasanya malah ditambah. Tapi kelewat lebai kalau kinerja organisasi digantungkan pada satu orang. Mahkamah Agung harus mengoreksi diri.

Tiga hakim yang memeriksa berkas Syafruddin sesungguhnya tidak satu suara. Ketua majelis kasasi Salman Luthan setuju dengan pertimbangan putusan banding. Adapun hakim Syamsul Rakan Chaniago berpendapat perbuatan Syafruddin merupakan perkara perdata. Sedangkan hakim Mohamad Askin menilai kasus terdakwa masuk lingkup hukum administratif. Dalam komposisi 2 : 1, ketua majelis tak berkutik. Komisi Yudisial hendaknya memeriksa hakim agung yang membebaskan Syafruddin.

Advertising
Advertising

Di pengadilan tingkat pertama, hakim menyatakan Syafruddin merugikan negara Rp 4,8 triliun karena mengeluarkan surat keterangan lunas BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada April 2004. Syafruddin dinyatakan melakukan kejahatan itu bersama pemilik BDNI, Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih Nursalim, serta bekas Kepala Komite Kebijakan Sektor Keuangan, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.

Kerugian negara itu merupakan sisa tunggakan BDNI, yang mendapat suntikan dana BLBI senilai Rp 30,9 triliun saat krisis moneter pada 1997-1998. Surat keterangan lunas seharusnya tak terbit karena Sjamsul belum menyetor semua kewajibannya. Setelah surat lunas itu keluar, BPPN hanya bisa menarik sebagian kecil dari hak tagih atas petani tambak udang di Bumi Dipasena Utama, Tulangbawang, Lampung, yang diserahkan Sjamsul. Hak tagih ini sebelumnya diklaim sebagai kredit lancar dengan nilai Rp 4,8 triliun.

Hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2017 sejalan dengan putusan hakim. Menurut BPK, Sjamsul dan Itjih pemegang saham BDNI sampai 1998 menyatakan piutang BDNI kepada petani tambak sebagai kredit lancar meski yang terjadi sebaliknya. Selain itu, mereka menandatangani akta perjanjian penyelesaian akhir walaupun belum menyelesaikan semua kewajiban. BPK juga menyebut peran Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara 2004, Laksamana Sukardi, dalam urusan ini.

Pembebasan Syafruddin Temenggung punya akibat serius. Juni lalu, Komisi menerakan status tersangka kepada Sjamsul Nursalim. Beberapa kali dipanggil, Sjamsul tak datang. Peluang KPK untuk memenjarakan Sjamsul dan pelaku lain makin tipis. Dituding merugikan negara secara bersama-sama, pembebasan Syafruddin akan memutus rantai kebersamaan tersebut.

KPK hendaknya segera mengajukan permohonan peninjauan kembali satu-satunya jalan yang kini tersedia. KPK hanya memiliki waktu hingga 2022 untuk menjerat Sjamsul karena adanya aturan kedaluwarsa dalam penuntutan pidana. Kasus pidana dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup atau pidana mati tidak bisa diusut lagi setelah 18 tahun. Jika KPK gagal memenuhi tenggat itu, para pengemplang dana BLBI bakal melenggang bebas tanpa bisa diseret ke pengadilan.

Tentu saja sikap cergas itu harus dilakukan pemimpin KPK saat ini dan pemimpin periode berikutnya. Jika panitia seleksi nanti cuma bisa memilih komisioner kelas ayam sayur, tampaknya kita akan melihat pemberantasan korupsi tengah berjalan menuju kuburnya.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

3 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

12 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

33 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

41 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

45 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya