Antara Oposisi dan Koalisi

Penulis

Sulardi

Kamis, 4 Juli 2019 07:00 WIB

Ilustrasi pemilu. REUTERS

Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang

Kata "oposisi" mulai marak diperbincangkan oleh masyarakat kita setelah penetapan presiden dan wakil presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum pada 29 Juni lalu. Dalam konteks ini, oposisi diartikan sebagai pihak yang tidak berada di lingkaran kekuasaan. Sesungguhnya, oposisi lazim ada di negara yang menjalankan pemerintahan parlementer. Terlebih yang kepartaiannya menggunakan sistem dwipartai.

Demikian halnya dengan istilah "koalisi". Koalisi pun lazim berada di negara dengan sistem pemerintahan parlementer. Koalisi terjadi ketika dalam pemilihan umum legislatif, tidak ada satu pun partai yang menguasai kursi parlemen secara mayoritas, sehingga tidak ada partai politik peserta pemilu yang dapat membentuk pemerintahan sendirian. Karena itu, beberapa partai bergabung untuk membentuk pemerintahan. Pemerintahan inilah yang disebut pemerintahan koalisi, sedangkan partai politik yang tidak ikut dalam pemerintah dinamai oposisi.

Kelemahan sistem parlementer yang pemerintahannya dibangun atas dasar koalisi adalah mudah retaknya gabungan partai politik dalam koalisi. Begitu partai anggota koalisi partai pemerintahan melepaskan diri, pemerintahan dinyatakan bubar dan harus dibentuk pemerintahan baru atas dasar koalisi baru di antara partai politik di parlemen.

Negara Indonesia pernah berada dalam situasi seperti itu saat tidak ada partai politik yang memperoleh kursi mayoritas di parlemen melalui Pemilihan Umum 1955. Pemerintahan kemudian dibentuk oleh koalisi empat partai yang memperoleh suara empat besar, yakni Partai Nasional Indonesia dengan 22,3 persen suara (57 kursi), Masyumi dengan 20,9 persen (57 kursi), Nahdlatul Ulama dengan 18,4 persen (45 kursi), dan Partai Komunis Indonesia dengan 16,4 persen (39 kursi). Dengan demikian, partai politik sisanya menempatkan diri sebagai oposisi. Seperti halnya kelemahan pada sistem parlementer dengan pemerintahan koalisi, pemerintahan koalisi di Indonesia pada waktu itu pun sangat lemah. Pemerintah kerap kali jatuh-bangun dan terjadi perubahan kabinet.

Advertising
Advertising

Kerugian dari seringnya pergantian pemerintahan melalui mosi tidak percaya itu mengakibatkan program pembangunan tidak bisa segera direalisasi. Bahkan yang terjadi adalah partai politik mengalami disorientasi, yakni bagaimana pemerintah dapat jatuh. Inilah yang menjadi salah satu alasan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan penyelenggaraan negara kembali yang berdasar pada UUD 1945 dengan sistem pemerintahan presidensial.

Pada saat pemilihan presiden dan wakil presiden pada April 2019, terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dua pasang kandidat itu tidak diajukan oleh partai politik, melainkan oleh gabungan partai politik, seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2 UUD 1945. Hanya, dalam keseharian, gabungan partai politik itu menyebut dan disebut sebagai koalisi partai politik.

Setelah Joko Widodo-Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, ada yang berharap Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno tetap berdiri sebagai oposisi meskipun ada partai politik yang semula bergabung mendukung mereka telah bergeser ke pemerintahan. Di sini, oposisi dimaknai sebatas tidak terlibat dalam pemerintahan. Bila demikian, siapa pun bisa mengklaim sebagai pihak yang berada di barisan oposisi saat tidak berada di lingkaran pemerintahan.

Perlu dicermati bahwa negara kita adalah negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Maka, pembentukan pemerintahan pun tidak berada di koalisi partai politik, melainkan sepenuhnya berada di tangan presiden sebagai hak prerogatif presiden. Hal ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun.

Boleh-boleh saja partai politik yang tergabung ke pemerintahan berharap mendapat bagian kursi kekuasaan dari presiden. Faktanya, presiden membagi-bagi kekuasaan itu kepada para pendukungnya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa presiden bagi-bagi kekuasaan kepada partai politik yang telah mendukungnya dan siapa saja yang telah "berkeringat" untuk memenangkannya menjadi presiden.

Kekuasaan yang dibagi oleh presiden tidak hanya terbatas pada saat pengisian kabinet, tapi hingga di relung-relung yang paling dalam di pilar kekuasaan lain, seperti posisi direktur jenderal, lembaga-lembaga independen, dan komisaris badan usaha milik negara.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

2 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

11 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

32 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

40 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

44 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

59 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya