Tunda Pengesahan Rancangan KUHP

Penulis

Jumat, 28 Juni 2019 07:30 WIB

Usul Proyek Gedung DPR Kembali Menguat

Rencana Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana layak ditentang. Dewan tak perlu ngotot menyelesaikan kodifikasi hukum pidana itu sebelum habis masa kerjanya, karena masih banyak pasal yang kontroversial. Aturan dalam Rancangan KUHP bahkan berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

Rancangan KUHP yang memuat 786 pasal itu dibagi dalam dua buku, yakni buku mengenai ketentuan umum dan buku mengenai ketentuan tindak pidana, termasuk pidana khusus. Ada lima jenis tindak pidana khusus yang diatur, yaitu tindak pidana korupsi, hak asasi manusia, terorisme, pencucian uang, dan narkotik.

Kontroversi muncul lantaran aturan pidana khusus korupsi dalam Rancangan KUHP berbeda dengan undang-undang yang selama ini menjadi pegangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ancaman hukuman dalam Rancangan KUHP umumnya lebih rendah dibanding ancaman dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Salah satu contohnya, Pasal 624 dalam Rancangan KUHP yang mengatur soal perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi yang merugikan keuangan negara. Ancaman hukuman minimal untuk kejahatan ini hanya 2 tahun penjara dan denda minimal Rp 10 juta. Hukuman itu jauh lebih rendah dibanding yang diatur dalam UU Pemberantasan Korupsi, yakni hukuman minimal 4 tahun penjara dan denda minimal Rp 200 juta.

Perbedaan serupa juga muncul dalam aturan mengenai kejahatan pencucian uang. Rancangan KUHP mencantumkan hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda sebanyak-banyaknya Rp 5 miliar. Padahal Undang-Undang Pencucian Uang yang berlaku sekarang mengatur ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp 10 miliar.

Advertising
Advertising

Pasal lain yang kontroversial menyangkut kejahatan korporasi. Rumusan kejahatan ini dalam Rancangan KUHP berpotensi menyulitkan pengusutan. Salah satu pasal dalam rancangan itu bahkan membatasi pelaku yang bisa dijerat: hanya orang yang memiliki jabatan fungsional dalam struktur perusahaan. Padahal sering kali tindak pidana ini dilakukan oleh pegawai rendah.

Upaya memerangi korupsi akan terhambat jika penegak hukum cenderung menggunakan pasal dalam KUHP. Memang, hukum kita menganut prinsip lex specialis derogat legi generali (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Artinya, hakim bisa mengutamakan UU Pemberantasan Korupsi ketimbang KUHP. Hanya, tak ada kepastian mengenai hal ini karena kita juga menganut asas lex posterior derogat legi priori (hukum yang lebih baru mengesampingkan hukum lama).

Itu pentingnya kita menelaah lagi Rancangan KUHP. Dewan sebaiknya tidak terburu-buru menyelesaikan kodifikasi hukum pidana yang digagas sejak Seminar Hukum 1963 itu. DPR perlu mengakomodasi lebih dulu kritik yang disampaikan kalangan pegiat antikorupsi. Jangan sampai aturan dalam kodifikasi hukum justru akan menyulitkan kerja KPK sekaligus melemahkan upaya memerangi korupsi.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

31 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

43 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

58 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

59 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya