Saatnya Menggenjot Manufaktur dan Jasa

Penulis

Kamis, 27 Juni 2019 07:30 WIB

Ekspor Batu Bara Tak Tercatat Hampir 1 Juta Ton

Ketergantungan yang berlebihan pada sumber daya alam bisa menjadi candu yang memabukkan. Ketergantungan ini tampak nyata di Kalimantan dan Sumatera, terutama setelah ledakan harga komoditas primer terjadi pada 2002-2013. Akibatnya, Indonesia terlena oleh minyak kelapa sawit dan komoditas hasil tambang, bukan mengembangkan sektor manufaktur dan jasa untuk mengakselerasi pertumbuhan,

Di tengah tren harga komoditas yang merosot seperti sekarang, ketergantungan itu tentu membahayakan perekonomian. Apalagi harga batu bara anjlok sejak September tahun lalu hingga akhir semester pertama 2019, dari sekitar US$ 104,81 per ton menjadi

US$ 81,86 per ton. Tren negatif ini akan berdampak langsung pada penerimaan negara bukan pajak dan pemasukan pemerintah daerah.

Dampak penurunan itu sudah terasa lima tahun belakangan. Sejak harga batu bara rontok, pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur, misalnya, minus 1,21 persen pada 2015 dan minus 0,38 persen pada 2016. Harga batu bara yang menanjak pada tahun lalu sempat memberikan harapan. Namun kontraksi yang terlalu dalam pada tahun-tahun sebelumnya membuat kenaikan harga itu hanya bisa mengungkit pertumbuhan 2,67 persen pada 2018.

Struktur perekonomian di Kalimantan Timur memang didominasi oleh usaha pertambangan. Industri ini menopang 46,35 persen total produk domestik regional bruto provinsi itu. Tak mengherankan bila anjloknya harga batu bara langsung memukul denyut perekonomian di sana.

Advertising
Advertising

Pelemahan harga itu tak lepas dari gejolak perekonomian global. Cina, sebagai importir batu bara terbesar, menurunkan prediksi pertumbuhan akibat perang dagang dengan Amerika. Buntutnya, permintaan batu bara negeri itu menyusut. India juga membatasi impor batu bara setelah sejumlah pabrik keramik ditutup karena persoalan lingkungan. Penurunan permintaan itu terjadi di tengah pasokan berlimpah dari Rusia di pasar Asia.

Efek perlambatan global juga mempengaruhi permintaan minyak kelapa sawit. Padahal pasokan dari Indonesia dan Malaysia melimpah ruah. Situasi bertambah runyam akibat ekspor CPO mendapat hambatan dari Eropa. Ini membuat harga minyak kelapa sawit sempoyongan, turun dari US$ 714,3 per metrik ton pada 2017 menjadi US$ 595,5 per metrik ton tahun lalu. Penurunan ini menggerus sumbangan devisa minyak sawit, dari Rp 300 triliun menjadi Rp 287 triliun pada periode yang sama.

Merosotnya harga tak akan memukul perekonomian bila Indonesia tidak terjebak pada hasil sumber daya alam. Kekeliruan ini terjadi karena pemerintah melupakan proses transformasi ekonomi dari kegiatan ekstraktif menuju manufaktur dan jasa. Sejak krisis 1998, orientasi industri manufaktur seperti kehilangan arah. Akibatnya, rata-rata pertumbuhan ekspor manufaktur turun menjadi 10 persen sepanjang 2003-2011. Padahal pertumbuhan ekspor manufaktur pernah menyentuh 30 persen antara 1970 dan 1990.

Agar tidak terus bergantung pada hasil alam, pemerintah harus sungguh-sungguh melaksanakan reformasi struktural. Dari meningkatkan sumber daya manusia, memperbaiki pasar tenaga kerja, hingga mendorong aktivitas penelitian serta pengembangan yang membuat manufaktur dan jasa bergeliat. Percepatan transformasi dari kegiatan ekstraktif menuju manufaktur dan jasa menjadi sebuah keniscayaan.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

24 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

36 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

52 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

52 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya