Bukan Rekonsiliasi tanpa Oposisi

Penulis

Rabu, 26 Juni 2019 07:00 WIB

Mayarakat Kampung Anti Hoax, mengenakan penutup wajah bergambar Capres nomor urut 01 Joko Widodo alias Jokowi, dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto saat aksi Ruwatan Indonesia di Solo, Jawa Tengah, Rabu, 24 April 2019. Aksi tersebut digelar sebagai syukuran pelaksanaan pesta demokrasi Pemilu 2019. ANTARA/Maulana Surya

Rekonsiliasi antara kubu Joko Widodo dan Prabowo Subianto diperlukan untuk menurunkan tensi politik setelah pemilihan umum. Hanya, rekonsiliasi tersebut semestinya tidak diwarnai dengan transaksi jabatan. Memasukkan wakil partai penyokong Prabowo ke kabinet bakal melemahkan oposisi sekaligus merugikan demokrasi.

Rujuk politik itu harus dilandasi kepentingan masyarakat. Tujuan utamanya adalah merekatkan kembali rakyat yang terbelah oleh perbedaan pandangan dan pilihan dalam pemilihan umum lalu. Rekonsiliasi juga mesti didasarkan pada penghormatan terhadap aturan main demokrasi. Setelah pemilu berakhir dan sengketa hasil pemilu diputus oleh Mahkamah Konstitusi, kedua kubu perlu bersalaman untuk mengakhiri kompetisi.

Sangat disayangkan bila upaya perdamaian tersebut diwarnai politik transaksional berupa tawaran jatah kursi di kabinet atau kompensasi materi buat kubu yang kalah. Cara tak elok itu akan merusak demokrasi. Kubu yang kalah semestinya konsisten dengan ideologi dan gagasan mereka tanpa tergoda masuk dalam pemerintahan.

Idealnya, partai pendukung Prabowo--Partai Gerindra, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional--tetap solid dan berperan sebagai kekuatan penyeimbang. Mereka juga bisa menyiapkan amunisi dan calon untuk menghadapi pemilu berikutnya. Sikap pragmatis yang sering diperlihatkan partai politik di negara kita perlu diakhiri.

Selama ini, partai politik terlihat hanya mengejar kekuasaan, bukan memperjuangkan ideologi atau gagasan. Mereka amat gampang berubah haluan. Pada pemilu sebelumnya, Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional meninggalkan kubu Prabowo dan merapat ke Jokowi yang memenangi pemilihan presiden. Kali ini Partai Amanat Nasional pun mulai main mata dengan kubu pemenang. Begitu pula Demokrat.

Advertising
Advertising

Demokrasi akan rusak jika Presiden Jokowi membentuk kabinet dengan menggandeng sebagian besar partai pendukung Prabowo. Pemerintahan mungkin akan lebih stabil, tapi hanya untuk sementara. Menjelang pemilu, pemerintah yang disokong oleh terlalu banyak partai politik biasanya akan retak. Soalnya, masing-masing partai politik berkepentingan menyiapkan diri untuk bertarung lagi dalam pemilu.

Pragmatisme politik itu juga akan melemahkan kekuatan oposisi. Padahal, oposisi sangat diperlukan sebagai instrumen penyeimbang agar demokrasi tetap sehat. Dengan jumlah kursi yang lebih kecil dibanding koalisi partai pendukung pemerintah, Gerindra dan koalisinya memang akan selalu kalah dalam setiap pengambilan keputusan di parlemen. Tapi, paling tidak, mereka bisa menjadi pengontrol pemerintah. Keberadaan partai oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas pemerintah.

Kita membutuhkan oposisi yang kuat untuk mengawasi kinerja pemerintah serta program-program pembangunan. Demokrasi akan mati jika semua partai politik, termasuk Gerindra, menjadi bagian dari penguasa. Demi menyelamatkan demokrasi, partai yang meraih suara terbanyak kedua di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu sebaiknya tidak tergoda masuk dalam kabinet.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

31 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

43 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

59 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

59 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya