Rekonsiliasi, Bukan Transaksi

Penulis

Selasa, 25 Juni 2019 11:30 WIB

Petugas kepolisian melakukan pengamanan di sekitar Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa 25 Juni 2019. Polri mempertebal pengamanan di Mahkamah Konstitusi (MK) jelang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2019, Kamis, 27 Juni 2019. TEMPO/Subekti.

Pekan ini Mahkamah Konstitusi akan memutus sengketa pemilihan umum dan menutup seluruh rangkaian pemilihan presiden yang sudah berlangsung hampir setahun terakhir. Putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat: para kandidat tak lagi punya kesempatan mempersoalkan hasil pemilu. Karena itu, setelah putusan dijatuhkan, Presiden Joko Widodo dan penantangnya, Prabowo Subianto, harus bersalaman dan mengakhiri kompetisi.

Upaya sejumlah politikus untuk "mendamaikan" kedua kubu menjelang putusan final dari Mahkamah sah-sah saja dilakukan. Ikhtiar mereka bisa menurunkan ketegangan politik yang meruncing belakangan ini dan mencegah aksi massa lanjutan pada hari terakhir sidang di Mahkamah Konstitusi.

Rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo dan tentu antarkubu partai pendukungnya juga penting agar polarisasi di kalangan akar rumput bisa mereda. Pertikaian yang banyak timbul akibat kompetisi politik yang sengit selama pemilihan umum sudah seharusnya dihentikan. Tak ada lagi "kami" dan "mereka" yang berhadap-hadapan.

Masalahnya, meski negosiasi memang merupakan bagian tak terpisahkan dari politik, tawar-menawar di ranah ini tak boleh direduksi menjadi arena transaksional belaka. Upaya kedua kubu mencari kompromi harus tetap didasari etika politik.

Sangat disayangkan jika benar ada iming-iming jabatan strategis di kabinet dan berbagai fasilitas lain dengan jumlah fantastis sebagai "harga rekonsiliasi". Negosiasi semacam itu hanya akan merendahkan nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan kedua kubu selama kampanye. Rekonsiliasi politik yang dihasilkan dari tawar-menawar semacam itu jelas salah kaprah.

Advertising
Advertising

Sikap serupa seyogianya ditunjukkan partai politik peserta pemilu. Mereka yang kalah seharusnya tidak perlu kasak-kusuk meninggalkan koalisi calon presiden yang semula mereka usung. Sedangkan mereka yang menang juga tak perlu repot-repot menggaet partai lawan untuk bergabung.

Sejauh ini, ada indikasi kuat Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat tengah berancang-ancang meninggalkan koalisi pendukung Prabowo. Elite kedua partai itu sudah aktif berkomunikasi dengan Presiden Jokowi dan jajarannya. Langkah politik semacam ini juga mencerminkan rekonsiliasi yang salah kaprah.

Tradisi lompat perahu ke biduk pemenang setelah pemilu usai memang tidak dimulai kedua partai itu. Pada pemilu sebelumnya, Golkar dan PAN melakukan tindakan serupa dengan meninggalkan koalisi Prabowo setelah jago mereka dipastikan kalah. Kebiasaan semacam ini seharusnya tidak diterima sebagai kewajaran.

Sudah saatnya semua pihak menyadari bahwa keberadaan oposisi yang berkualitas mutlak diperlukan dalam sistem demokrasi. Adanya partai oposisi di parlemen justru menjamin transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Jika semua partai politik dirangkul masuk ke koalisi pendukung pemerintah, tak ada lagi perdebatan seputar kebijakan pemerintah dalam sidang-sidang Dewan Perwakilan Rakyat.

Tanpa mitra untuk beradu pendapat dan pandangan, setiap kebijakan pemerintah akan selalu disetujui tanpa banyak pertanyaan. Lama-kelamaan aparat pemerintah akan merasa paling benar. Merasa didukung mayoritas, mereka bisa dengan ringan menolak segala suara yang berbeda. Jika itu yang terjadi, kita selangkah lagi mendekati era otoritarian yang menafikan kebebasan dan keberagaman.

Untuk itu, segala upaya membentuk koalisi partai pendukung pemerintah yang terlampau dominan sejak dini perlu dipersoalkan. Rekonsiliasi politik seusai pemilu tak harus dibarengi dengan pernyataan dukungan kepada presiden yang terpilih. Kubu oposisi dan pendukung pemerintah seharusnya berkomitmen untuk menerima hasil pemilu dan mendukung sistem pemerintahan yang berlandaskan hukum.

Selama ini, memang ada anggapan bahwa beroposisi di luar pemerintah merupakan ujian bagi partai politik. Pasalnya, partai oposisi tak akan punya akses pada jabatan publik dan fasilitas lain yang menyertainya. Kerap kali, menjadi partai pendukung pemerintah juga membuka kesempatan kongkalikong dan meraup fulus dari berbagai praktik penyalahgunaan kekuasaan. Sudah saatnya perilaku korupsi semacam itu diberantas. Para pejabat negara tak boleh lagi dibiarkan memanfaatkan kedudukan untuk membesarkan diri sendiri dan partai politik asal mereka.

Berakhirnya rangkaian pemilihan presiden pekan ini seharusnya menjadi awal budaya politik baru. Rekonsiliasi yang terjadi seusai pemilu tidak identik dengan bagi-bagi kursi dan kekuasaan. Mereka yang menang dan yang kalah sama-sama punya andil membesarkan Indonesia dan memelihara tradisi demokrasi.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

5 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

14 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

35 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

43 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

47 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya