Algoritma Gelap di Media Sosial

Penulis

Didi Achjari

Selasa, 25 Juni 2019 07:30 WIB

Ilustrasi Media Sosial (Medsos).

Didi Achjari
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Penyebaran radikalisme, rasisme, teori konspirasi, ujaran kebencian, dan sejenisnya melalui media sosial seperti YouTube adalah fenomena global. Artikel "The Making of a YouTube Radical" oleh Kevin Roose di New York Times pada 8 Juni 2019 menunjukkan fenomena tersebut juga terjadi di Amerika Serikat. Tulisan ini bermaksud untuk memaparkan adanya algoritma di balik platform media sosial yang mempunyai tujuan dan kepentingan pihak tertentu, yang tidak disadari keberadaan dan bahayanya oleh pengguna. Algoritma semacam itu disebut "algoritma gelap".

Mengapa media sosial seperti YouTube bisa menjadi sarana penyebaran konten dan informasi negatif? Menurut Roose (2019), ada dua penyebabnya. Pertama, media sosial seperti YouTube umumnya mengandalkan pendapatannya dari iklan. Algoritmanya dirancang agar pengguna mendapat informasi yang relevan dengan profil pengguna. Konten di YouTube yang banyak pengunjungnya bisa menjadi sumber pendapatan bagi pengunggahnya. Popularitas yang mendatangkan iklan ini bisa menjadi modus konten yang berkaitan dengan paham radikal. Dalam konteks artikel Roose, tokoh-tokoh yang menyebarkan paham radikalisme di Amerika via YouTube juga banyak pengunjungnya.

Kedua, problem yang laten adalah algoritma YouTube. Sekali seseorang mengunjungi suatu konten, dia akan diberi saran tautan konten lain yang sejenis dan relevan oleh algoritma YouTube. Masalahnya, jika seorang pengguna mengunjungi konten yang dianggap negatif, dia akan diberi saran tautan yang relevan dengan konten negatif tersebut. Dia akan terjebak dalam pusaran konten dan informasi sejenis. Hal ini disebut sebagai fenomena "lubang kelinci" (rabbit hole).

Pengguna media sosial yang bijak akan mencari info yang berimbang secara mandiri. Tapi seberapa banyak orang yang melakukannya? Kebanyakan orang hanya mau melihat apa yang ingin mereka lihat. Kita cenderung pasrah kepada media sosial dan mesin pencari untuk dipilihkan informasi yang cocok dengan profil kita.

Advertising
Advertising

Melalui algoritmanya, media sosial bisa menyajikan atau tidak menyajikan suatu konten informasi tertentu untuk kita. Sementara itu, masyarakat pengguna percaya sepenuhnya kepada kejujuran platform media sosial. Di sinilah pentingnya menelaah algoritma media sosial. Pemerintah perlu hadir untuk melindungi masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan adanya institusi yang menelaah algoritma platform media sosial.

Perusahaan penyedia platform media sosial, yang kebanyakan perusahaan multinasional asing, menambah kompleks isu ini. Sejauh mana otoritas pemerintah Indonesia bisa meminta mereka membuka algoritma yang merupakan rahasia dagangnya? Tanpa membuka algoritmanya, tentu akan sulit mengetahui ada-tidaknya "penumpang gelap".

Roose mencontohkan Caleb Cain, yang terpapar radikalisme karena terjebak di lubang kelinci media sosial. Cain secara intens mengikuti saluran dan tautan yang disarankan oleh media sosial radikal. Padahal, pada era pasca-kebenaran, kebenaran adalah apa yang kita lihat dan dengar secara terus-menerus melalui berbagai saluran. Akibatnya, Cain berubah menjadi sosok lain dan menganggap paham radikal yang dia ikutilah yang paling benar. Hal ini terjadi karena umumnya masyarakat percaya dan berasumsi bahwa media sosial jujur dalam menyajikan informasi dan konten. Akibatnya, seperti Cain, banyak orang yang tidak sadar telah menjadi korban pasca-kebenaran karena tidak ada kebenaran lain di lubang kelinci sebagai pembanding.

Yang bisa menjadi korban pasca-kebenaran hasil algoritma gelap ini bukan hanya orang awam, melainkan juga kaum terpelajar. Ketidakmampuan banyak elemen masyarakat dalam menghadapi pasca-kebenaran menunjukkan masyarakat Indonesia masih belum siap menghadapi implikasi dari zaman serba-terhubung. Pemerintah perlu membuat regulasi, tapi masyarakat juga perlu meningkatkan kesadaran dan kapasitasnya dalam menghadapi algoritma gelap. Proses edukasinya tidak bisa dijalankan dalam kerangka pendidikan konvensional (berbasis kurikulum sekolah) karena isunya sangat kontemporer (berkaitan dengan teknologi mutakhir dan pengolahan informasi secara massif) dan menghunjam sampai ke ranah keyakinan.

Dalam konteks farmasi, produsen obat dihadapkan pada uji klinis bertahun-tahun, dan obatnya harus lolos uji yang sangat ketat sebelum boleh beredar. Jika ada efek yang ketahuan kemudian, produsen tetap bisa dituntut oleh konsumen. Tapi hal itu tampaknya tidak berlaku untuk produk platform media sosial. Jika ada orang yang menjadi radikal atau terjadi huru-hara karena asupan konten hasil algoritma media sosial, apakah pembuat platform bisa dituntut? Kalau secara legal sulit dibuktikan, apakah etis platform itu menyediakan jasa yang bisa menjadi sarana perilaku anti-sosial dan paham negatif yang berbahaya bagi masyarakat?

Melindungi masyarakat dari jebakan lubang kelinci algoritma gelap media sosial dengan mengandalkan regulasi yang sangat terbatas saat ini bisa jadi adalah misi yang hampir mustahil. Perlu kolaborasi lintas disiplin ilmu untuk mencari solusinya.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

5 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

26 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

34 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

38 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

53 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

54 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya