Mewaspadai Prakarsa Sabuk Jalur Sutra

Selasa, 11 Juni 2019 07:00 WIB

Mewaspadai Prakarsa Sabuk Jalur Sutra

Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia

Inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan (BRI), yang juga disebut "sabuk ekonomi jalur sutra", adalah pertaruhan besar Cina pada abad ini. Ketika pertama kali dideklarasikan oleh Presiden Xi Jinping pada 2013, prakarsa tersebut dikenal dengan sebutan Satu Sabuk, Satu Jalan. Guardian memperkirakan BRI akan menghabiskan biaya lebih dari US$ 1 triliun. Melalui prakarsa ini, Presiden Xi ingin menjadikan Cina sebagai pusat pertumbuhan ekonomi global, khususnya di Asia.

Sebagaimana dilaporkan The Economist, dengan berinvestasi pada proyek infrastruktur, Presiden Xi ingin agar cadangan devisa Cina jadi lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan banyak dari cadangan devisa Cina ditanam pada produk sekuritas Amerika Serikat yang berbunga rendah. Selain itu, Xi berharap BRI mampu membuka pasar baru bagi perusahaan-perusahaan Cina dan menciptakan kestabilan di kawasan Xinjiang dan Tibet yang terus bergolak. Prakarsa yang juga akan melibatkan sejumlah proyek di Laut Cina Selatan tersebut diharapkan akan memperkuat posisi Cina dalam kasus-kasus sengketa di kawasan tersebut.

Sejatinya, semua motivasi itu dibalut dengan tujuan yang tampak mulia: membuat kawasan Eurasia secara ekonomi sebanding dengan Transpasifik yang dimotori oleh Amerika. Seperti dilaporkan oleh Washington Post, BRI bekerja dengan meminjamkan modal ke negara-negara asing untuk mendirikan berbagai macam proyek infrastruktur. Namun proyek-proyek ini biasanya dibangun oleh perusahaan-perusahaan Cina. Hal-hal semacam inilah yang harus ditimbang matang-matang oleh Indonesia karena, sejak 27 April 2019, BRI secara resmi telah masuk dalam bentuk kerja sama ekonomi antara Cina dan Indonesia.

Kedua negara telah menandatangani 23 kesepakatan kerja sama untuk sejumlah proyek di bawah panji BRI. Sejumlah nota kesepahaman yang ditandatangani dilakukan dengan skema business to business oleh para pebisnis dari kedua negara. Perhatian tentu tidak saja terkait dengan probabilitas pembesaran utang domestik sampai pada peluang ketergantungan Indonesia pada modal Cina, tapi juga pada imbas ekonominya di kemudian hari, ketika peluang penguasaan ekonomi domestik akan pelan-pelan bergeser ke Negeri Tirai Bambu karena ujung dari proyek BRI bagi Cina adalah penguasaan rantai pasokan dan kanal distribusi di ranah domestik negara mitranya.

Advertising
Advertising

Kita dapat menengok pengalaman Sri Lanka. Presiden Mahinda Rajapaksa punya hasrat untuk memanfaatkan keuntungan letak geografisnya secara maksimal. Realisasinya adalah membangun pelabuhan udara dan laut agar bisa menampung muatan lebih banyak dan jadi tempat singgah perdagangan dunia. Rajapaksa kemudian punya gagasan untuk membangun bandar udara dan pelabuhan di Hambantota, daerah kelahirannya yang masih didominasi hutan. Ini sekaligus tentunya ingin menjadikan kampung halamannya sebagai metropolis kedua terbesar di negeri itu.

Megaproyek tersebut tentu saja membutuhkan pendanaan yang tak sedikit. Sri Lanka pada awalnya memang kesulitan mencari sumber dana, terutama dari Barat. Sebab, ada kebijakan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang menutup konsesi ekonomi dan bantuan untuk Sri Lanka karena masalah perang saudara yang pernah terjadi di sana. Proyek Mattala Rajapaksa International Airport (MRIA) di Mattala, 18 kilometer dari Hambantota, kurang-lebih menghabiskan dana US$ 209 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun. Namun anggaran negeri itu tak akan mampu membiayai proyek sebesar itu.

Rajapaksa lantas mengundang Cina, yang kemudian memberi pinjaman untuk 90 persen biaya pembangunan MRIA. Cina juga banyak memberikan pinjaman pembangunan infrastruktur di sana, seperti pelabuhan Magampura Mahinda Rajapaksa dan Stadion Kriket Internasional Mahinda Rajapaksa. Kurang-lebih terdapat pinjaman lunak US$ 4,8 miliar dari Cina ke Sri Lanka selama Rajapaksa berkuasa.

Pembangunan di Hambantota dengan utang Cina itu akhirnya membawa Sri Lanka berutang hingga lebih dari US$ 8 miliar. Sayangnya, utang yang menggunung itu tak diimbangi dengan mimpi besar Sri Lanka untuk menggerakkan ekonomi secara instan. Bahkan, MRIA merugi dan pelabuhan Hambantota mengalami defisit. Akhirnya, untuk mengatasi perkara utang tersebut, Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe menyerahkan pengelolaan pelabuhan kepada perusahaan Cina. China Merchants Holdings (International) Company Ltd mengambil alih 80 persen pemasukan pelabuhan Hambantota sebagai pelunasan US$ 1,1 miliar utang Sri Lanka kepada Cina.

Menurut Financial Times, Pakistan, Sri Lanka, Laos, Maladewa, dan Montenegro termasuk negara dengan proyek BRI yang tersendat dan berakhir dengan utang menggunung. Jumlah negara yang mengalami nasib serupa bukan tidak mungkin akan bertambah. Pasalnya, banyak dari 70-an negara yang terlibat dalam BRI adalah negara-negara dengan ekonomi yang cukup berisiko menurut daftar peringkat risiko negara yang dikeluarkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

7 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

28 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

36 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

40 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

55 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

56 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya