Catatan Kritis untuk KPK

Rabu, 15 Mei 2019 07:30 WIB

Ilustrasi Gedung KPK

Kurnia Ramadhana
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW

Masa kepemimpinan lima komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan segera berakhir. Pasal 34 Undang-Undang KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK menjabat selama empat tahun sehingga tahun ini menjadi tahun terakhir mereka. Namun belum terlihat adanya niat dari Presiden Joko Widodo untuk membentuk panitia seleksi pimpinan KPK.

Tulisan ini akan mencoba mengulas kinerja lima komisioner KPK saat ini, khususnya di bidang penindakan dan penataan kelembagaan. Pertama, potret kinerja KPK dalam persidangan tidak cukup memuaskan, terutama pada dakwaan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat KPK telah menangani 313 perkara selama 2016-2018, tapi hanya 15 perkara yang dikenakan pasal terkait dengan pencucian uang. Ini menggambarkan bahwa KPK belum mempunyai visi yang jelas pada isu asset recovery. Padahal, di sisi lain, kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi sudah teramat besar.

Keterkaitan pencucian uang dengan korupsi pada dasarnya sangat erat, baik dari segi yuridis maupun realitas. Untuk yuridis, korupsi secara spesifik disebutkan sebagai salah satu predicate crime dalam Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa para koruptor akan selalu berusaha menyembunyikan harta yang didapat dari rasuah. Dengan penyembunyian itu, seharusnya pasal pencucian uang dapat dikenakan kepada setiap pelaku korupsi.

Tuntutan KPK pun selama ini tidak begitu memuaskan. ICW mencatat, pada era kepemimpinan Agus Rahardjo, tren tuntutan KPK hanya menyentuh 5 tahun 7 bulan penjara. Padahal beberapa pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan untuk menuntut hingga 20 tahun penjara, bahkan seumur hidup. Untuk pasal suap, misalnya, KPK masih sering menggunakan Pasal 5, yang ancaman hukumannya maksimal hanya lima tahun penjara. Padahal terdapat Pasal 12, yang isi pasalnya serupa, tapi ancaman hukumannya lebih tinggi, yakni 20 tahun penjara.

Advertising
Advertising

Hal lain yang bisa disorot adalah tentang pencabutan hak politik. Sejak lima komisioner KPK dilantik, sudah ada 88 terdakwa dari dimensi politik yang dihadirkan dalam persidangan tindak pidana korupsi. Namun hanya ada 42 terdakwa yang dituntut agar hak politiknya dicabut. Padahal legitimasi dari pencabutan hak politik telah jelas diatur dalam Pasal 10 juncto Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bahkan Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun menegaskan hal yang sama. Artinya, KPK tidak menggunakan instrumen hukum ini secara maksimal.

Contohnya saat KPK tidak menuntut pencabutan hak politik terhadap mantan Bupati Klaten, Sri Hartini. Alasan jaksa saat itu adalah tuntutan pidana penjara sudah cukup tinggi sehingga tidak diperlukan lagi pencabutan hak politik. Padahal tujuan keduanya jelas berbeda. Pidana penjara dimaksudkan agar yang bersangkutan merasakan hukuman badan atas kejahatan yang dilakukan, sementara pencabutan hak politik agar dia tidak dapat menduduki jabatan tertentu.

Kedua, masih banyak tunggakan perkara. ICW mencatat ada 17 perkara besar yang belum ditangani secara tuntas, seperti kasus pengadaan kartu tanda penduduk elektronik yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun. Dua terdakwa, Irman dan Sugiharto, telah menyebut keterlibatan puluhan politikus yang turut serta menerima aliran dana haram itu. Namun hingga hari ini KPK baru menetapkan delapan tersangka.

Ketiga, persoalan internal tak kunjung diselesaikan oleh pimpinan KPK. Dalam peringatan dua tahun penyerangan terhadap Novel Baswedan, secara mengejutkan beredar petisi dari internal KPK. Intinya, petisi tersebut diajukan karena adanya persoalan serius di internal kedeputian penindakan lembaga anti-rasuah itu. Seharusnya hal ini dapat segera diselesaikan oleh pimpinan KPK karena, bagaimanapun, sektor penindakan adalah bagian yang paling disorot oleh masyarakat.

Penegakan etika pun seakan-akan menjadi angin lalu saja pada era kepemimpinan komisioner KPK saat ini. Pantauan ICW menyebutkan, sepanjang 2016-2018, setidaknya ada tujuh dugaan pelanggaran etik. Persoalan serius adalah pimpinan KPK kerap tidak mengumumkan kepada publik soal kelanjutan ataupun putusan terhadap pegawai yang diduga melanggar etik, seperti kasus Aris Budiman, direktur penyidikan yang mendatangi panitia angket DPR; Roland dan Harun, penyidik yang diduga merusak barang bukti; Firli, deputi penindakan yang diduga bertemu dengan Tuan Guru Bajang; dan Pahala Nainggolan, deputi pencegahan yang diduga turut ikut campur dalam persoalan antar-korporasi di sidang arbitrase. Keseluruhan kasus ini seakan-akan menguap begitu saja.

Keseluruhan paparan di atas seharusnya menjadi evaluasi mendalam bagi komisioner KPK saat ini. Sejujurnya, catatan kritis ini bukan bermaksud menyudutkan KPK, melainkan karena kecintaan kepada lembaga anti-rasuah tersebut agar makin mengoptimalkan kinerjanya pada masa-masa mendatang.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

31 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

43 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

58 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

59 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya