Menyikapi Hasil Pemilu

Penulis

Rabu, 17 April 2019 07:30 WIB

Ilustrasi kotak suara/ logistik Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). TEMPO/Bram Selo Agung

Para konstestan sebaiknya bersiap menerima apa pun hasil pemilu yang digelar hari ini. Protes berlebihan dari pihak yang kalah, apalagi tanpa dukungan bukti, hanya akan memperlihatkan sikap yang kurang berjiwa besar.

Negara kita sudah berkali-kali menggelar pemilu. Tapi, harus diakui, pemilu kali ini cukup rumit karena pemilihan presiden, anggota legislatif, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah dilakukan serentak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menyiapkan banyak jenis surat suara. Calon pemilih yang mencapai 192,8 juta jiwa harus pula mencoblos banyak gambar.

Indikasi kurang mulusnya penyelenggaraan Pemilu 2019 mulai terlihat dari pencoblosan di luar negeri. Kericuhan terjadi di tempat pemungutan suara di beberapa negara. Di Australia, Jepang, dan Hong Kong, misalnya, banyak WNI yang tak bisa menggunakan hak pilihnya karena tempat pemungutan suara sudah tutup. Hal itu memicu kecurigaan telah terjadi kecurangan.

Di zaman ketika orang mudah berkomunikasi lewat media sosial, peristiwa seperti itu mudah disebarluaskan. Ditambah dengan kekacauan pencoblosan yang mungkin terjadi di tempat lain, hal itu bisa digunakan sebagai amunisi kubu yang kalah untuk mempersoalkan hasil pemilu secara berlebihan.

Mewaspadai segala bentuk kecurangan memang penting. Mempersoalkan hasil pemilu pun merupakan hak setiap kontestan. Tapi sebaiknya hal tersebut dilakukan lewat mekanisme demokrasi dan hukum. Sudah ada saluran resmi untuk melaporkan praktik kecurangan dalam pemilu, yaitu melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ada juga Mahkamah Konstitusi yang sudah berpengalaman dalam memutus sengketa pemilu.

Advertising
Advertising

Publik juga bisa berperan positif dengan ikut mengawasi proses pencoblosan hingga penghitungan suara. Cara ini jauh lebih baik ketimbang bersikap asal curiga dan main tuduh. Bila tak ada bukti kuat, calon yang menjadi pemenang pemilu tak sepantasnya dituding bermain curang. Tuduhan secara serampangan hanya akan memancing kerusuhan. Ongkosnya pun akan sangat mahal: merusak demokrasi.

Kita justru harus berupaya meningkatkan mutu demokrasi. Sejauh ini, Indonesia termasuk negara yang berdemokrasi secara tak sempurna (flawed democracy) versi The Economist Intelligence Unit. Menurut indeks demokrasi yang dirilis The Economist pada tahun lalu, Indonesia berada pada peringkat ke-65 dari 167 negara yang diriset. Di kawasan Asia-Pasifik, hanya Australia dan Selandia Baru yang termasuk negara full democracy.

Sesuai dengan parameter The Economist, angka penyelenggaraan pemilu dan partisipasi politik di Indonesia sebetulnya tidak terlalu buruk, yakni masing-masing 6,92 dan 6,67. Sedangkan angka penyelenggaraan pemerintahan mencapai 7,14. Jebloknya negara kita justru dalam urusan budaya politik dan kebebasan warga negara, yang masing-masing mendapat nilai 5,63 dan 5,59.

Sikap legowo menerima kekalahan dalam pemilu merupakan salah satu contoh budaya politik yang baik--salah satu titik lemah demokrasi kita. Inilah pentingnya para konstestan yang kurang beruntung berjiwa besar dan mau mengakui kemenangan lawan.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

30 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

42 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

57 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

58 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya