Sang Khalif

Senin, 15 April 2019 15:30 WIB

Ilustrasi masjid. REUTERS/Amr Abdallah Dalsh

Di Najaf, sejarah dibangun dari kehilangan. Pada suatu hari di tahun 1982 saya bersembah yang asar di Masjid al-Imam Ali, masjid utama kota itu, di mana khalif ke-4 dimakamkan, dua hari setelah ia menanggung luka pedang seorang asasin. Duduk menatap mihrab, saya merasa masa silam lekat di aura ruang itu. Di bawah kubah besarnya yang berkilau emas, lewat gerbang-gerbangnya yang tinggi lebar, sebidang luas interior dihiasi mosaik warna biru kehijauan. Dan di ruang dalam, sebuah makam berteras persegi ditempati tiga pusara….

Apa yang kita alami ketika seorang khalif terbunuh?

Pada suatu pagi di hari ke-19 bulan Ramadan tahun 40 Hijriah atau 26 Januari 661, Ali bin Abu Thalib kemenakan dan menantu Rasulullah, pemimpin yang menghalangi ambisi Mu’awiyyah, Gubernur Suriah waktu itu jadi imam dalam salat subuh di Masjid Kota Kufah. Tiba-tiba seseorang melangkah dari saf di belakangnya dan menebaskan pedang beracun ke jidat pemimpin umat itu. Sang Khalif roboh. Segera ia dibawa ke rumah kediamannya, tapi usaha mengobatinya hanya menolongnya dua hari. Pada usia 62 tahun, Ali wafat sebagai khalif ke-3 yang tewas dibunuh. Jenazahnya diangkut dengan unta ke luar Kufah. Beberapa kilometer ke arah barat, Ali dimakamkan di sebuah tempat rahasia, yang kemudian jadi awal Kota Najaf.

Konflik kekerasan yang berkecamuk di kalangan muslimin waktu itu mengharuskan jenazah itu tak diketahui….

Seorang khalif wafat, tubuhnya dicederai, dan jenazahnya tak berbekas selama kurang-lebih satu abad. Kita tak tahu bagaimana umat Islam masa itu menerima itu. Tapi jelas bahwa terjadi sebuah retakan antara theologi dan politik: tiap kali seorang khalif dibunuh, kita tersadar bahwa ia hanya sosok simbolis dari sesuatu yang dibayangkan utuh, tapi sebenarnya tidak. “Ukhuwah” adalah sesuatu yang antah-berantah. Sosok umat tak pernah satu. Perpecahan antara Syiah dan Sunni hanyalah salah satu indikasi sebuah trauma berabad-abad.

Advertising
Advertising

Theologi pernah membentuk imajinasi tentang bangunan politik yang koheren. Sang khalif berada di pusatnya, menghubungkan dunia yang tampak dengan yang tak tampak, yang sekuler dan yang ilahi. Orang pun terpesona dan teperdaya sampai kemudian pusat stabilitas itu ditoreh, dihancurkan, seperti yang terjadi di Kufah di bulan Ramadan itu.

Hukum dan iman ternyata tak seperkasa yang semula diduga. Patokan-patokan guncang. Otoritas bukan sesuatu yang niscaya tak dibantah dan langgeng. Bahkan tubuh sang Khalif raib secara fisik dan simbolis.

Saat itu sebenarnya tampak, kekuasaan dan kekhalifahan pada dasarnya sebuah ruang yang terbuka. Betapapun kita menghormatinya, seseorang tak secara a priori berhak jadi pengisinya. Sang khalif, yang memegang dan menjalankan kekuasaan itu, tak lain tak bukan oknum yang fana, yang terbatas, yang bisa mencapai tempat itu berkat kekerasan, kepintaran, dan keberuntungan.

Yang terakhir ini yang juga disebut sebagai “nasib” sering dianggap sebagai campur tangan langit, tapi sebenarnya tidak: nasib, yang selamanya teka-teki, lebih menunjukkan ketidakpastian. Ketika di abad ke-15 di Italia Machiavelli menyebutnya sebagai Fortuna, ia sebenarnya menegaskan sebuah wawasan modern tentang kekuasaan: sesuatu yang bisa datang dan pergi.

Wawasan modern yang seperti itu tentu saja tak tumbuh dengan mudah. Kekuasaan, antara kelihatan dan tidak, tak menghilang bersama raja yang dikuburkan tanpa nisan. Kekuasaan tetap seperti hantu yang membayangi kehidupan sosial, tapi ia tak diwakili siapa pun dan apa pun sekali dan selamanya. Ketika Raja Prancis dipancung lehernya di puncak Revolusi Prancis di abad ke-18, ada yang terungkap. Sementara di abad ke-12 di Inggris Raja Richard I memaklumkan moto Dieu et mon droit, “Tuhan dan hak aku” dan dengan demikian mengklaim sebuah wewenang yang pasti di Paris, ketika Louis XVI direnggutkan hidupnya dengan pisau guillotine, yang pasti tak ada lagi. Claude Lefort menyebut situasi itu sebagai “runtuhnya marka-marka kepastian”.

Tak ada lagi sosok yang dianggap pengejawantahan kesatuan masyarakat dan yang secara simbolis bertaut dengan Tuhan. “Demokrasi,” tulis Lefort, “mewisuda pengalaman tentang sebuah masyarakat yang tak terjangkau, tak terkendali, di mana rakyat akan dikatakan berdaulat… tapi dengan identitas yang terbuka untuk digugat, dengan identitas akan selamanya terpendam.”

Tak mudah hidup dalam kondisi seperti itu, memang. Orang sering cemas kepada demokrasi, dan ingin membuka diri bagi kediktatoran atau, seperti yang kini sering terdengar, menghendaki kekhalifatan kembali. Tapi zaman memang tak lagi menjamin kepastian dan stabilitas atau lebih berterus terang bahwa kepastian dan stabilitas hanya ilusi.

Sebenarnya di abad ke-7, di antara Bagdad dan Najaf, ilusi itu dipatahkan dengan pertumpahan darah. “Ia yang mempercayai dunia, dunia mengkhianatinya” seorang kenalan mengutipkan satu kalimat Ali bin Abu Thalib, mungkin sebuah petuah untuk berhati-hati.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

17 jam lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

30 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

42 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

58 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

58 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya