Simpang Siur 'Golongan' dalam SARA

Jumat, 5 April 2019 07:30 WIB

Simpang Siur 'Golongan' dalam SARA

Muhammad Rasyid Ridha S.
Pengacara Publik LBH Jakarta

Sepanjang 2018, Kepolisian RI telah mengusut 122 kasus pidana ujaran kebencian, terutama di media sosial. Namun, dari segi substansi aturan, norma ujaran kebencian masih menyimpan problem. Hal tersebut dapat dilihat dari digunakannya istilah "suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)" sebagai indikator identitas masyarakat "yang dilindungi" dalam ketentuan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Istilah SARA pertama kali dipopulerkan oleh Laksamana Sudomo saat ia menjadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada era rezim Soeharto pada 1980-an. Ia menggunakan istilah tersebut sebagai "istilah politis" untuk menyebut penyebab-penyebab konflik yang ditengarai akan mengguncang stabilitas masyarakat dan rezim Orde Baru.

Untuk istilah "suku, agama, dan ras", pendefinisiannya dapat dikatakan cukup jelas karena bisa dibuktikan secara konkret dari segi sains atau akademis. Namun, untuk istilah "antargolongan", batasan dan kriteria yang dicakupnya tidak jelas. Ia bersifat abstrak dan dapat digunakan ke semua hal.

Ini dapat dilihat, misalnya, dalam kasus penangkapan dan kriminalisasi Robertus Robet, pengajar Universitas Negeri Jakarta. Robet dituduh telah melakukan tindak pidana ujaran kebencian di media sosial lewat orasinya dalam Aksi Kamisan yang mengkritik upaya dwifungsi Tentara Nasional Indonesia.

Advertising
Advertising

Dalam proses penyidikan, polisi menggunakan ketentuan Pasal 28 ayat 2 UU ITE untuk kasus ini. Artinya, polisi memposisikan TNI sebagai sebuah identitas golongan tertentu. Hal ini menjadi paradoksal karena TNI bukanlah golongan, melainkan institusi pemerintah. Selain itu, pengertian "golongan" dalam pasal tersebut mesti merujuk pada pengertian "golongan yang secara limitatif diatur pada Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana".

Paradoks tafsir frasa "golongan" juga dapat ditemukan dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, Putusan MK Nomor 140/PUU-VIII/2009, Putusan MK Nomor 76/PUU-XV/2017, dan Putusan MK Nomor 76/PUU-XVI/2018 tidak memberikan definisi yang jelas dan logis atas frasa "golongan" pada beberapa aturan pidana ujaran kebencian.

Dalam putusan-putusan tersebut, frasa "golongan" dimaknai sejauh ia "bukan golongan agama", yang berarti tafsirnya menjadi sangat luas. Ketidakjelasan definisi akan menimbulkan kerancuan praktik hukum dan sangat mungkin mudah disalahgunakan. Apalagi kasus-kasus ujaran kebencian sendiri biasanya memiliki dimensi politis yang cukup kuat.

Secara historis, istilah "golongan" sebenarnya sudah dipakai dalam sistem hukum dan kedudukan ketatanegaraan Indonesia pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Hal ini dapat dirujuk pada ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang merupakan peraturan ketatanegaraan pada era kolonial. Pasal tersebut mengatur pembagian tiga golongan di hadapan hukum: golongan Eropa, pribumi, dan Timur Asing (Djojonegoro: 1980).

Golongan Eropa mencakup warga Belanda, Eropa non-Belanda, Jepang, dan warga keturunan Eropa. Golongan pribumi mencakup orang Indonesia asli atau keturunannya yang melebur menjadi warga Indonesia asli. Adapun golongan Timur Asing mencakup orang Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti India dan Arab.

Pembagian golongan ini dimaksudkan untuk menentukan sistem hukum apa yang berlaku bagi masing-masing golongan. Untuk golongan Eropa diberlakukan sistem hukum perdata dan pidana Barat. Untuk golongan pribumi diberlakukan sistem hukum adat secara tidak mutlak dan pidana Barat. Sementara itu, untuk golongan Timur Asing dapat diberlakukan sistem hukum perdata dan pidana adatnya sendiri.

Meski ada pembagian golongan, sistem hukum kolonial pada saat itu tetap memungkinkan adanya unifikasi golongan dan sistem hukum dengan cara "penundukan diri", baik secara keseluruhan, sebagian, secara diam-diam, maupun dalam kondisi tertentu. Pembagian golongan ini secara logis didasari kebutuhan, kondisi hukum, dan situasi masing-masing golongan pada saat itu. Jadi, mesti ada situasi hukum khusus yang mengkondisikan keberadaan "golongan" itu menjadi ada.

Golongan berdasarkan kedudukan tata negara hari ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang membagi golongan warga menjadi dua: warga negara Indonesia dan warga negara asing. Konsekuensinya, kedua golongan tersebut memiliki hak dan kewajiban hukum yang berbeda di hadapan hukum.

Bila tafsir frasa "golongan" dalam istilah SARA hendak diperluas, ia akan lebih baik bila diartikan sebagai golongan warga rentan yang memiliki posisi hukum dan perlindungan yang khusus. Golongan ini mencakup, misalnya, kelompok disabilitas, perempuan, anak, LGBTQ, dan masyarakat adat yang merupakan kelompok rentan dan perlu mendapatkan perhatian khusus, baik dari segi kedudukan, hukum, maupun hak atas akses keadilan. Beberapa di antara kelompok tersebut sudah memiliki aturannya sendiri, seperti kelompok disabilitas dan anak.

Tapi, bila tafsir "golongan yang didasari kedudukan ketatanegaraan dan posisi hukum khusus" diterapkan, bukan berarti kita hendak melakukan praktik diskriminasi atau memberlakukan semacam dualisme hukum. Hal tersebut diupayakan untuk mempercepat hak akses atas keadilan kelompok masyarakat khusus tertentu yang rentan agar kebijakan hukum dan akses atas keadilan dapat berjalan efektif serta tepat sasaran.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

5 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

53 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya