Kebeneran

Selasa, 2 April 2019 13:45 WIB

Patung Jenderal Soedirman yang berada di kawasan wisata sejarah Monumen Nasional Panglima Besar Jenderal Soedirman di Bukit Gandrung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, Rabu (21/07). Tempo/ISHOMUDDIN

Tiap kali berdiri di depan sebuah monumen yang gagah, saya merasa ada yang hilang di sana. Bangunan itu terasa hanya sebuah ikhtisar.

Hari itu, di sebuah kota Jawa Tengah, saya berjalan di sekitar patung Jenderal Sudirman yang tegak di atas kuda, dikelilingi pohon-pohon genitri. Sesuatu dalam auranya mencoba jadi bagian yang kekal yang nyaris tergusur lalu lintas di kota yang berubah itu. Seseorang mengatakan, dari pohon-pohon itu ada buah kecil yang bisa disusun jadi tasbih, untuk berdoa. Yang transenden, tampaknya, menyusup di antara deretan biji….

Tapi yang transenden, yang melampaui batas ruang dan waktu, mungkin sebuah imajinasi; khususnya di bangunan itu. Monumen ini juga bagian dari imajinasi kita.

Imajinasi-mungkin sekaligus "sejarah".

Tiap kali orang berbicara tentang "sejarah", saya bayangkan sebuah perjalanan panjang. Para pencatatnya-seperti Hegel dan Marx-sering melihat di sana terbentang jalan-jalan besar Kebenaran: dari penindasan ke kemerdekaan, dari jahiliah ke pencerahan (atau sebaliknya).

Advertising
Advertising

Tapi benarkah? Seperti monumen, sejarah yang dikisahkan adalah sebuah ikhtisar. Semakin lama saya hidup, semakin sadar saya bahwa ada yang lain di samping itu: kita hidup bukan di jalan raya Kebenaran; kita hidup di lorong dan tikungan Kebetulan.

Sejarah tak punya Peta Google. Peta itu bertolak dari asumsi bahwa semua hal bisa diketahui-dan memang meyakinkan: nun jauh tinggi di langit, satelit memantau dan merekam. Dengan itu manusia telah memenuhi hasratnya untuk serba melihat, dan "melihat" sama artinya dengan "tahu".

Tapi sesungguhnya kita tak melayang di sebuah drone. Kita berjalan, terkadang dengan kasut tipis, tak jarang dengan kacamata buruk. Tapak kita akan bertemu dengan yang tak dipaparkan Peta Google: lubang di aspal, benjolan di perempatan, parit yang luber airnya, tumpukan tahi kerbau, dan hal-hal yang mendadak melintang. Kita juga bisa tersesat bukan karena peta yang salah, melainkan karena cara kita membaca keliru.

Manusia dirundung rasa cemas. Ada "kerisauan epistemik" terus-menerus, terusik hal-ihwal, dan orang menenteramkan diri dengan menyederhanakan narasi, melempangkan jalur, memotong bagian yang dianggap berlebih-meskipun mungkin sebenarnya tidak. Dalam kerisauan itu disusun sebuah bangunan theori, atau filsafat, tentang apa yang bermula, apa yang berproses, apa yang jadi ujung: sebuah jalan Kebenaran. Dengan itulah Hegel dan Marx bisa mengasumsikan ada "akhir sejarah", ketika ikhtiar manusia berakhir, sebab yang dihasratkan terpenuhi.

Jalan Kebenaran macam itu bisa memukau-sampai kita sadar: dalam "kecemasan epistemik", manusia mencoba menghindari yang tak terduga, dengan cara melembagakan mithos ke-serba-tahu-an. Bukan saja tentang waktu yang menggerakkan sejarah, tapi juga tentang ruang.

Pernah, dibangun "panoptikon": sebuah teknologi pengawasan (tentu saja untuk "tahu"), gagasan pemikir Inggris Jeremy Bentham di akhir abad ke-18, guna memantau gerak-gerik seantero penghuni penjara tanpa mereka sadar bahwa mereka diawasi. Ide ini tak terlaksana, tapi jadi thema penting dalam novel Orwell terkenal, 1984: kisah sebuah kekuasaan totaliter yang tiap detik menguntit kata dan langkah rakyatnya ke mana saja.

Ya, manusia ingin menggantikan Tuhan, bukan sebagai yang Maha-Akrab, tapi yang Maha-Melihat. Orang Jawa menghilangkan rasa cemas mereka dengan kalimat "Gusti Allah ora sare", "Tuhan tidak tidur". Ini juga keyakinan bahwa Kebetulan, atau yang tak terduga, atau yang baru, tak pernah ada. Semua sudah ditebak.

Bagi saya itu ketakaburan-meskipun tak diakui. Mungkin juga kekerasan: untuk mengukuhkan bahwa "kami, mengikuti Tuhan, sudah tahu, kami serba tahu" dengan peta jalan Kebenaran orang memangkas segala yang tak dianggap sesuai dengan narasi yang diakui.

Di akhir 1990-an James Scott menulis Seeing Like a State, sebuah telaah yang cemerlang tentang politik dan sejarah. Scott memaparkan bagaimana Negara-bangunan politik yang pernah disebut sebagai "monster yang terdingin" itu-merencanakan masa depan. Di Jerman, di abad ke-19, diterapkan "kehutanan ilmiah". Pokok-pokok pinus dan cemara ditanam serentak, seragam, sejenis. Di meja ruang-ruang jawatan, tilikan "ilmiah" merasa "tahu" hutan itu seisinya-seraya mengabaikan serangga, mamalia, dan burung-burung. Dua abad yang lalu itu orang belum sadar bahwa keanekaragaman hayati perlu agar hutan mendapatkan "gizi" yang kaya. Dan "kehutanan ilmiah" pun berakhir dengan Waldsterben, kematian hutan-hutan.

Jalan Kebenaran yang lempang telah membangun sebuah ekologi yang diringkus-tendensi yang tak hanya berlaku dalam pengelolaan pepohonan. Dan tak hanya di Jerman abad ke-18. Negara modern dibangun dengan menyederhanakan pelbagai hal agar mudah dikuasai: klasifikasi penduduk, penyeragaman ekonomi dengan uang-hingga terbentuk semacam abridged map, "peta yang diringkas".

Seperti di depan monumen sejarah, ada yang hilang di sana: hidup yang sesungguhnya tak bisa diikhtisarkan. Kebeneran (sebagai antithesis bagi Kebenaran) tak diakui, surprise dibungkam, dan yang baru dianggap menyimpang.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

3 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

12 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

33 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

41 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

45 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya