Receh

Penulis

Putu Setia

Sabtu, 23 Maret 2019 07:00 WIB

Ilustrasi Gedung KPK

Putu Setia
@mpujayaprema

Kalau ada kesempatan untuk melakukan korupsi, berapa nilai yang cukup aman jika sampai ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi?

Seorang teman mengajukan pertanyaan itu. Saya tak paham ke arah mana pertanyaannya sehingga tak menjawab. Untung dia memperjelasnya. Kalau korupsi Rp 10 miliar lalu dihukum empat tahun, mungkin agak pas. Katakanlah biaya persidangan sampai membayar pengacara Rp 1 miliar, kemudian selama empat tahun biaya di penjara Rp 500 juta ditambah fasilitas penjara Rp 500 juta lagi. Biaya kunjungan keluarga anggap Rp 1 miliar juga. Ganti rugi sesuai dengan vonis jangan lebih dari Rp 2 miliar. Karena itu, tak perlu beli aset yang mudah disita. Keluar dari penjara masih sisa Rp 5 miliar. Lumayan kan?

Saya masih belum jelas teman saya ini mau apa. Tiba-tiba dia menyinggung vonis 15 tahun penjara Setya Novanto dan harus mengganti kerugian negara sampai Rp 66 miliar. Kalau korupsinya sampai ratusan miliar rupiah, tentu masih ada sisa selepas penjara. Begitu pula Anas Urbaningrum, yang hukumannya dinaikkan Mahkamah Agung menjadi 14 tahun, pasti tak begitu miskin saat keluar dari penjara karena korupsinya puluhan miliar rupiah. Jero Wacik divonis 8 tahun penjara, didenda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 5 miliar, tapi bisa dibayar hukuman 2 tahun. Korupsinya juga puluhan miliar rupiah, masih ada sisa uangnya, apalagi kalau uang pengganti dibayar dengan hukuman. Jangan-jangan koruptor itu sudah berhitung harus korupsi berapa besar?

"Anda mau bicara apa, sih?" tanya saya tak sabar dengan ocehannya. Teman saya tertawa. "Itu, lho. Romahurmuziy terima suap cuma Rp 300 juta, padahal dia ketua umum partai. Receh amat," kata dia.

Advertising
Advertising

Saya jadi ikut tertawa. "Apa arti uang sebesar itu? Beli mobil bekas saja tak cukup. Lagi pula, dia ketua umum partai. Biaya memilih dia saja habis lebih dari itu saat kongres. Kini kehormatannya hancur, bukan cuma dirinya, tapi juga keluarganya. Partai pasti kena getah kehancurannya. Kok, besaran korupsinya kelas lurah?" teman saya geleng-geleng kepala.

Saya berkomentar, mungkin Romy awalnya tak menduga pemerasan itu sebagai hal yang serius. Ah, kecil saja. Masak, urusan teri begini diintai KPK? Dia tidak sadar bahwa dalam perebutan jabatan sekarang ini, pihak yang kalah, apalagi merasa dikhianati, bisa membuat laporan ke KPK. Dan itu hal yang bagus. KPK pun harus didukung untuk melanjutkan penangkapan koruptor kelas receh ini. Bukan soal berapa besar uang yang dikorupsi, melainkan untuk menegaskan kepada semua pejabat bahwa mental korup itu sangat berbahaya untuk bangsa. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama seharusnya berat mengeluarkan uang Rp 250 juta karena gajinya tak sebesar anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Apalagi Kepala Kantor Agama Kabupaten Gresik harus menyuap sebesar Rp 50 juta. Untuk balik modal, keduanya pasti akan mengutak-atik dana yang dikelolanya. Artinya, korupsi terus berlanjut, tak ada ujungnya. Pejabat yang suka menyuap untuk meraih dan mempertahankan jabatan pastilah setiap kebijakannya akan berujung pada "seberapa besar saya dapat imbalan".

Anak muda seperti Romy, juga Anas Urbaningrum, sangat disayangkan tergelincir oleh hal-hal yang memalukan seperti ini. Kita jadi kehilangan harapan munculnya pemimpin baru. Namun pelajaran terbaik dari pengungkapan suap kelas receh ini adalah partisipasi masyarakat dalam melaporkan adanya korupsi, betapa pun kecilnya. Ini tak bisa dianggap receh. Yang menyakitkan, tentulah suap begini ada di Kementerian Agama, tempat di mana moral-termasuk surga dan neraka-dibahas sehari-hari.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

24 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

36 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

51 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

52 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya