Melindungi Kebebasan Berpendapat

Penulis

Kamis, 14 Maret 2019 07:00 WIB

Aktivis Robertus Robet mengatakan dia ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian oleh Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.

APA pun alasan yang digunakan polisi untuk membenarkan penetapan status tersangka bagi Robertus Robet, faktanya tak berubah: kasus ini merupakan kriminalisasi kebebasan berpendapat. Dengan menetapkan ancaman pidana untuk sebuah ekspresi sikap dan prinsip politik, polisi menyeret kita semua kembali ke era Orde Baru.

Pada Rabu pekan lalu, menjelang tengah malam, lima polisi dari Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI menangkap dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, di kediamannya di Depok, Jawa Barat. Penangkapan itu diklaim polisi sebagai “upaya melindungi” Robet dari ancaman tindakan main hakim sendiri prajurit Tentara Nasional Indonesia.

Kasus ini bermula dari orasi Robet sepekan sebelumnya di tengah Aksi Kamisanunjuk rasa damai yang diadakan rutin di depan Istana Merdeka untuk menuntut penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. Dalam pidatonya ketika itu, Robet menolak rencana pemerintah menempatkan perwira tinggi TNI yang “menganggur” di posisi penting sejumlah kementerian dan lembaga sipil. Dia menyebutkan rencana itu sama saja dengan menghidupkan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada zaman otoritarian Soeharto.

Nah, untuk mengingatkan anak-anak muda saat ini soal besarnya pengaruh tentara dalam berbagai sektor kehidupan sipil di masa Orde Baru, Robet kemudian menyanyikan satu bait lagu satire yang dipopulerkan mahasiswa pada aksi-aksi demonstrasi 1998. Video nyanyian inilah yang kemudian menjadi viral di media sosial.

Apa yang dilakukan Robet bukanlah kejahatan, melainkan haknya sebagai warga negara. Sesuai dengan konstitusi negara ini, dia bebas berpendapat dan berekspresi. Terlebih lagi, Robet sedang mengingatkan publik akan ancaman militerisme yang dikhawatirkan merasuk lagi ke ruang-ruang sipil. Menangkap dan menetapkan dia sebagai tersangka dalam perkara ini adalah sebuah tragedi.

Advertising
Advertising

Belakangan, polisi memang mengubah sangkaan untuk Robet, dari pelanggaran Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi pelanggaran Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan umum. Pasal ini pun sebenarnya lemah karena rangkaian pasal sejenis mengenai penghinaan terhadap pejabat publik sudah dihapus Mahkamah Konstitusi pada 2006. Hakim konstitusi ketika itu sudah memberikan peringatan tegas: penegak hukum harus bisa membedakan antara kritik, pendapat, dan fitnah atau pencemaran nama baik.

Yang menarik, polisi terus berkilah bahwa penangkapan Robet merupakan antisipasi agar kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta, dan pembakaran kantor Kepolisian Sektor Ciracas, Jakarta Timur, tak terulang. Dalam kedua kasus itu, anggota TNI menjadi korban kejahatan dan polisi tak sigap menindaklanjutinya. Dalih semacam itu menghina akal sehat.

Menyamakan orasi kritis tentang militerisme dengan kasus pembunuhan dan penganiayaan adalah sesat pikir yang keterlaluan. Jika ancaman atas keselamatan Robet memang nyata, polisi seharusnya bergegas melindungi, bukan menetapkan dia sebagai tersangka. Apalagi Markas Besar TNI sudah menyatakan tak tersinggung dan justru berterima kasih atas kritik Robet.

Polisi harus segera menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam kasus ini. Jika tidak, kepercayaan publik tethadap kemampuan polisi menjaga demokrasi dan hak asasi manusia di negeri ini akan terus melorot sampai titik nadir.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

52 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya