Keadilan untuk Rasilu

Senin, 11 Maret 2019 07:30 WIB

Ilustrasi Hukum. DAMIEN MEYER/Getty Images

Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Masyarakat kembali dikejutkan dengan keputusan Pengadilan Negeri Ambon yang menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan penjara kepada Rasilu, penarik becak di kota itu. Kasus ini bermula ketika Rasilu mengantar penumpangnya, yang sedang sakit, ke rumah sakit lewat jalan pintas. Selanjutnya, becak Rasilu menghindari mobil dengan kecepatan tinggi dan, karena hujan, becak Rasilu beserta penumpang tersebut terguling. Tak lama kemudian penumpang itu meninggal dunia.

Rasilu dipidana atas meninggalnya penumpang tersebut meskipun keluarga penumpang itu telah berdamai dengan Rasilu dan mencabut laporan di kepolisian. Peradilan Rasilu kembali mengingatkan masyarakat pada peradilan sesat Baiq Nuril, ketika korban justru dijadikan tersangka dan diadili dengan tafsir hukum yang keliru pula.

Ada dua kekeliruan mendasar dalam kasus Rasilu. Pertama, dalam penyidikan hingga persidangan, aparat penegak hukum tidak menghadirkan pengendara mobil, padahal pangkal kecelakaan yang menewaskan penumpang tersebut adalah mobil. Kedua, jika Rasilu didakwa dengan Undang-Undang Lalu Lintas, seharusnya dakwaan tersebut gugur, bahkan penyidikan tidak berlanjut, karena sudah ada perdamaian dan keluarga korban telah mencabut laporan di kepolisian.

Dalam kasus sejenis dan penerapan pasal yang sama, yakni Pasal 310 Undang-Undang Lalu Lintas, pada 2013, pengadilan “hanya” menghukum Rasyid Rajasa, putra Menteri Koordinator Perekonomian kala itu, dengan hukuman percobaan. Contoh lainnya, pada tahun yang sama, dalam kasus sejenis, pengadilan membebaskan Abdul Qodir Jaelani, putra musikus Ahmad Dhani.

Advertising
Advertising

Mengapa hukum seakan-akan tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Philippe Nonet (1987) menjelaskan, sensitivitas aparat penegak hukum akan keadilan untuk semua lapisan masyarakat belum terjadi sehingga menghasilkan disparitas putusan. Sensitivitas keadilan ini erat kaitannya dengan integritas aparat penegak hukum untuk menghadirkan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Pembedaan perlakuan dalam proses hukum dan pidana ini, menurut Nawawi et al. (2015), disebabkan oleh dua hal, yakni faktor teknis dan nonteknis. Faktor teknis disebabkan oleh pemahaman akan substansi hukum dan proses yudisial yang belum merata antarsesama penegak hukum di Indonesia.

Adapun faktor nonteknis terkait dengan integritas aparat penegak hukum. Penyimpangan pada profesi penegak hukum dimungkinkan menurut rumus korupsi Klitgaard (1999), yang memperkenalkan teori CDMA, yakni C (Corruption) = D (Discretion) + M (Monopoly) - A (Accountability).

Jika melihat sederhananya kasus yang menimpa Rasilu, semestinya disparitas proses penegakan hukum tidak disebabkan oleh faktor teknis. Jika mengikuti teori CDMA, hal ini lebih disebabkan oleh sebab nonteknis mengingat ada perbedaan kontras terkait dengan proses penegakan hukum terhadap Rasilu dan kasus sejenis lainnya. Misalnya, Rasilu ditahan dalam kasus ini, sedangkan kasus sejenis dengan korban jiwa lebih banyak, polisi, dengan hak subyektif penyidik, justru tidak melakukan penahanan.

Bagaimanapun, negara berkewajiban menghadirkan keadilan yang sama untuk setiap warga negara. Kasus Rasilu adalah bukti bahwa hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dalam hal ini, pihak terkait (komisi kepolisian, kejaksaan, dan yudisial) harus menaruh perhatian serius untuk tercapainya prinsip negara hukum, yakni kesamaan perlakuan di depan hukum, yang belum dapat diperoleh masyarakat dalam penegakan hukum di Indonesia.

Guna mewujudkan keadilan terhadap Rasilu, yang harus dilakukan adalah mengajukan upaya hukum yang dimungkinkan atas “peradilan sesat Rasilu” untuk menghindari deretan peradilan sesat yang sudah banyak terjadi, mulai dari peradilan sesat legendaris Sengkon-Karta dan Sum Kuning hingga peradilan dagelan pembunuhan wartawan Udin. Rasilu seharusnya bisa melakukan upaya hukum biasa (banding dan kasasi) ataupun upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali).

Hukuman untuk Rasilu di bawah 2 tahun, sehingga tidak mungkin mengajukan permohonan grasi. Untuk melakukan fungsi korektif, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung harus menggunakan acuan putusan sejenis untuk membebaskan Rasilu. Dengan demikian, negara, melalui fungsi yudikatif, menghadirkan kesamaan perlakuan di depan hukum bagi semua warga negaranya sekaligus menyudahi deretan praktik peradilan sesat. Langkah korektif ini, selain mengembalikan rasa keadilan terhadap Rasilu, memberi keyakinan kepada masyarakat bahwa akses keadilan dapat diperoleh oleh semua warga negara tanpa pembedaan apa pun.

Selain itu, evaluasi atas proses hukum yang dialami Rasilu, mulai dari penyidikan hingga putusan pengadilan, perlu dilakukan sebagai upaya perbaikan dan menggali alasan terjadinya disparitas perlakuan dan putusan tersebut. Komisi kepolisian, komisi kejaksaan, dan komisi yudisial harus segera melakukan evaluasi yang kemudian dapat digunakan sebagai bahan evaluasi masing-masing instansi.

Jika ditemukan indikasi kekeliruan dalam proses hukum yang menimpa Rasilu, harus segera dilakukan tindakan tegas terhadap aparat penegak hukum tersebut. Hal ini untuk menghapus kesan bahwa penegakan hukum hanya memiliki dua sisi, yakni koruptif dan sewenang-wenang.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

29 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

41 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

56 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya