Toriq Hadad*
@thhadad
Binatang apa sebenarnya unicorn, yang tiba-tiba nyelonong masuk ke panggung debat kedua calon presiden kita, pekan lalu?
Konon, hewan ini sejenis kuda. Namun bukan kuda yang biasa ditunggangi para hartawan. Unicorn lebih mirip seperti kuda poni dengan satu tanduk di kepala. Bahasa Latinnya unus cornu, yang berarti satu tanduk. Bila diusut lebih jauh, kata itu milik orang Yunani kuno, yakni monokeros, yang juga berarti satu tanduk.
Kalau banyak yang tidak kenal dengan unicorn, kita maklumi saja. Hewan itu hanya hidup dalam legenda dan mitos. Kendati bukan hewan beneran, mitos di sekitar unicorn ini menghebohkan. Darah dan tanduknya digosipkan bisa mendatangkan kekuatan mistis. Di dunia Barat, tanduknya dipercaya bisa menetralkan racun, mengobati segala penyakit.
Kata unicorn gampang membuat orang tertipu. Propaganda keampuhan khasiat tanduk unicorn itu menciptakan "pasar" dan menarik minat pedagang yang curang. Mereka memburu narwhal, sejenis ikan paus bermoncong runcing yang hidup di Kanada dan Greenland. Moncong runcing narwhal mereka jual sebagai tanduk unicorn. Sampai abad pertengahan, tanduk unicorn yang sangat mahal itu menjadi buruan bangsawan dan kaum high-class. Padahal yang mereka beli hanyalah moncong runcing narwhal atau taring panjang walrus yang hidup di Arktika.
Kendati hanya hidup di alam khayalan, unicorn dipakai sebagai "binatang resmi" Skotlandia sejak 1300-an. Kenapa? Sebab, itu merupakan simbol perlawanan pada Inggris, yang memakai singa sebagai "binatang nasional" mereka. Orang Skotlandia percaya pada mitos bahwa unicorn-terkadang digambarkan berkaki kuda dan berekor singa-merupakan musuh abadi singa. Pada 1296, sejarah mencatat Kerajaan Inggris menyerbu Skotlandia. Perang terjadi dan baru berakhir dengan kemerdekaan Skotlandia pada 1328.
Riwayat unicorn memang penuh tipu-tipu dan berlumuran darah. Namun mengapa unicorn yang dipilih sebagai sebutan start-up (perusahaan rintisan bidang digital) yang memiliki nilai perusahaan (valuasi)
US$ 1 miliar?
Pertanyaan ini saya lempar pada teman-teman saya. Hampir semua tahu istilah ini, tapi banyak yang gagal menjawab tepat. Saya juga termasuk yang tidak tahu. Menurut Minda Zetlin, co-author The Geek Gap, istilah ini dipakai lantaran jarang ada start-up yang valuasinya menembus US$ 1 miliar dalam waktu relatif singkat. Capaian luar biasa itu seperti mitos, sama halnya dengan unicorn.
Saya kira analogi ini kurang pas. Binatang unicorn tak pernah ada, hanya mitos belaka. Adapun start-up unicorn benar-benar ada. Namun buat apa terlalu serius kalau sang penemu istilah ternyata pakai ilmu coba-coba? Aileen Lee, yang mendirikan perusahaan investasi Cowboy Ventures, pada 2013 kesulitan menyebut start-up yang menembus valuasi
US$ 1 miliar kurang dari sepuluh tahun. Pada mulanya, Lee memakai istilah home run atau mega hit.
Dua istilah ini ternyata "tidak laku". Tak ada yang mau mengikuti Lee. Kedua istilah itu tidak menunjukkan betapa langka start-up yang mampu mencapai valuasi sekitar Rp 14 triliun-dalam nilai rupiah sekarang. Begitu Lee melempar kata unicorn dalam blog-nya, kata itu langsung populer. Unicorn mewakili kelangkaan start-up yang mencapai prestasi ajaib bagai mitos. Persentase start-up yang mampu bertahan hidup hanya 0,07 persen.
Jadi, ketika unicorn masuk ke panggung debat calon presiden, persoalannya bukan sekadar kenal atau tidak kenal dengan istilah itu. Yang terpenting bagi kelompok milenial dan pelaku bisnis digital, kebijakan siapa yang terbaik dan memberi angin segar pada dunia bisnis baru ini.
*Wartawan Tempo