Remisi dan Mekanisme Seleksi

Penulis

Miko Ginting

Selasa, 19 Februari 2019 07:00 WIB

Presiden Jokowi berpidato dalam Pembukaan Rakernas Kementerian ATR/BPN Tahun 2019 di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 6 Februari 2019. Tujuan pelaksanaan Rakernas yakni untuk mengevaluasi pelaksanaan program strategis nasional. TEMPO/Subekti.

Miko Ginting
Pengajar Hukum Pidana STH Indonesia Jentera

Kekuasaan Presiden Joko Widodo menerbitkan remisi tentu tidak berdampak kepada narapidana semata. Presiden juga harus mempertimbangkan sensitivitas keadilan publik. Ini menjadi sulit karena Presiden berhadapan dengan ratusan atau mungkin ribuan permohonan remisi untuk ditandatangani. Tanpa kecermatan dan kelengkapan informasi serta penyeleksian berjenjang yang ketat, niscaya keputusan itu dapat berujung pada kontroversi.

Kasus mutakhir adalah pemberian remisi terhadap Susrama, seorang terpidana pembunuhan berencana terhadap jurnalis Gde Narendra Prabangsa. Presiden memberikan persetujuan untuk mengubah hukuman terpidana dari penjara seumur hidup menjadi penjara selama kurun waktu tertentu, yaitu 20 tahun. Belakangan, pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengakui lalai memberikan rekomendasi remisi karena tidak melakukan profiling satu per satu kepada calon penerima remisi.

Pada kasus lain, sensitivitas publik juga terganggu karena Presiden secara rutin memberikan remisi kepada terpidana-terpidana kasus tertentu, seperti kasus korupsi. Salah satu yang terjadi baru-baru ini adalah remisi untuk terpidana kasus Bank Century, Robert Tantular. Ia memperoleh pembebasan bersyarat setelah mendapat remisi 77 bulan dari total masa pidana yang harus ia jalani.

Banyak kalangan kemudian memprotes pemberian remisi ini. Namun satu yang perlu didudukkan kembali persoalannya bukan keberadaan remisi sebagai instrumen kebijakan negara. Pemberian remisi pernah digugat untuk dihapuskan, tapi Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 022/PUU-III/2005 menolak permohonan tersebut. Persoalan pokok yang menjadi krusial di sini adalah jenis, mekanisme, dan indikator seleksi terkait dengan pemberian remisi.

Advertising
Advertising

Menurut sejarahnya, remisi muncul sebagai hadiah negara kepada warga negara untuk memperingati hari kelahiran Ratu Belanda seperti yang diamanatkan dalam Gouvernement Besluit tanggal 10 Agustus 1935. Remisi hadir sebagai instrumen pengampunan (baca: hadiah) negara berupa pengurangan hukuman terhadap terpidana. Untuk itu, menurut sejarahnya, remisi bukanlah hak narapidana, melainkan pemberian negara.

Namun, dalam perkembangannya, remisi disebutkan sebagai hak dalam Undang-Undang Pemasyarakatan dan aturan-aturan terkait. Pengkategorian remisi sebagai hak berdampak pada keharusan penjaminan seseorang dapat mengakses hak itu sekaligus memberi kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Pada titik ini, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, yang memperketat syarat pemberian remisi, menjadi persoalan karena hampir mencabut hak terpidana pada kasus tertentu, salah satunya pengguna narkotika.

Sebagai instrumen kebijakan negara, remisi memiliki posisi untuk menegaskan tujuan pembinaan negara kepada para pelaku kejahatan yang sudah memperoleh hukuman. Narapidana diberi harapan oleh negara untuk memperbaiki diri agar mendapat pengurangan hukuman. Selain itu, remisi dalam posisi sebagai sarana kebijakan hukum pidana dalam pengendalian kepadatan di lembaga pemasyarakatan. Pelaku kejahatan yang sudah diputus bersalah dan sedang menjalani hukuman (dibina) itu diseleksi kemudian dikembalikan ke masyarakat.

Untuk itu, usaha memukul rata penghapusan pemberian remisi kepada terpidana sama sekali tidak tepat. Sama tidak tepatnya dengan pemberian remisi yang dilakukan secara "pukul rata" oleh negara kepada terpidana. Sebagai sebuah bentuk kebijakan dan hak yang dibebani syarat tertentu, pemberian remisi dilakukan secara selektif. Tentu ini dilakukan dengan indikator dan mekanisme yang terukur agar kebijakan itu akuntabel.

Saat ini, yang perlu ditagih adalah usaha keras pemerintah untuk menyusun kembali jenis, mekanisme, dan indikator pemberian remisi ini secara tepat dan terukur. Dari sisi jenis, Keputusan Presiden Nomor 174/1999 masih membuka peluang pemberian remisi dengan jenis yang terlampau banyak. Dari sisi indikator, syarat "berkelakuan baik" harus diturunkan menjadi indikator yang terukur. Dari sisi mekanisme, pemeriksaan berjenjang secara ketat sebelum sampai ke meja presiden menjadi sangat penting dan krusial. Ini terutama di tengah kewajiban negara yang belum tunai dalam membentuk lembaga hakim pengawas dan pengamat sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Sekali lagi, kita tentu sangat marah terhadap pengurangan hukuman terpidana pembunuhan berencana, korupsi, dan kejahatan lain. Namun bukan berarti remisi harus dihapuskan secara serta-merta. Pemerintah harus merombak aturan pemberian remisi ini secara menyeluruh supaya tidak ada orang yang tidak patut menerimanya, sementara di tempat yang lain, yang patut menjadi tidak dapat menerima.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

24 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

36 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

51 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

52 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya