Mati Suri Rehabilitasi Adiksi

Penulis

Muhammad Hatta

Kamis, 14 Februari 2019 07:00 WIB

Shabu seberat 73,949 Kg dari internasional Malaysia-Bireun-Aceh saat dirilis di kantor BNN, Cawang, Jakarta,1 Februari 2019. TEMPO/Faisal Akbar.

Muhammad Hatta
Dokter Balai Rehabilitasi BNN Baddoka Makassar

Penyalahgunaan narkotik telah mencapai titik nadir di Indonesia. Laporan akhir tahun Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan terdapat 914 kasus yang telah diungkap dengan 1.355 tersangka sepanjang 2018. Adapun pengguna yang dirawat di pusat rehabilitasi milik pemerintah dan masyarakat berjumlah 15.263 orang. Jumlah tersebut relatif sama dengan tahun 2017, yang merehabilitasi 15.302 penyalah guna narkotik. Angka tersebut sangat jomplang dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang ingin 100 ribu pecandu direhabilitasi setiap tahun.

Survei Penyalahgunaan Narkotika BNN menguak fakta bahwa sebagian masyarakat (49 persen) masih belum mengetahui keberadaan tempat rehabilitasi di wilayah mereka. Dari jumlah tersebut, hanya 5 persen yang tertarik menjalani proses rehabilitasi hingga selesai. Sebagian besar responden (57 persen) merasa mampu mengobati diri sendiri dan masih menganggap pusat rehabilitasi sebagai "rumah sakit berbayar"(BNN, 2018). Dapat disimpulkan, walau gratis dan biaya ditanggung sepenuhnya oleh negara, tempat-tempat rehabilitasi masih menanggung stigma negatif dan belum tersosialisasikan dengan baik.

Ada beberapa kendala dalam program rehabilitasi. Pertama, masih tumpang-tindihnya kewenangan antarinstansi pemerintah dalam program rehabilitasi pecandu narkotik. Undang-Undang Narkotika menyebutkan, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotik wajib menjalani rehabilitasi di tempat-tempat yang ditunjuk oleh negara, dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial menjadi penanggung jawab utama, masing-masing di bidang rehabilitasi medis dan sosial. Undang-undang itu juga menyebutkan tugas BNN hanyalah meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi yang berada di bawah pengawasan kedua kementerian tersebut. Dikotomi medis-sosial itu menjadikan rehabilitasi tak holistik. Sebab, proses rehabilitasi bukan sekadar pemberian obat-obatan medis ketika pecandu tengah sakau, melainkan juga terapi sosial, seperti psikoterapi, perubahan perilaku, dan bimbingan keagamaan. Walau Presiden Jokowi meneken Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2018 tentang Percepatan Aksi Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) pada Juli tahun lalu, tetap saja ego sektoral di antara kementerian/lembaga masih kental.

Minimnya koordinasi di antara ketiga instansi tersebut pun terkuak dalam sebuah kajian Ombudsman Republik Indonesia. Faktor biaya yang tinggi (padahal seharusnya gratis menurut Peraturan Menteri Kesehatan), rentan diskriminasi layanan, serta acuan data yang berbeda-beda antara BNN, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial membuat prospek rehabilitasi semakin suram. Ombudsman mengeluarkan rekomendasi bagi masing-masing instansi tersebut agar berbenah dan bersatu padu memberi layanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Advertising
Advertising

Kajian Ombudsman tersebut menguak pula ketiadaan standar baku rehabilitasi pecandu secara nasional. Tiap kementerian/lembaga berebut membuat standar sendiri. Pada pertengahan 2017, Kementerian Sosial meluncurkan standar nasional rehabilitasi narkotik melalui Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2017 sebagai "saingan" standar yang telah dibuat oleh Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 80 Tahun 2014 dan BNN melalui Peraturan Kepala BNN Nomor 24 Tahun 2017.

Hal ini berdampak ketidakjelasan alur dukungan anggaran pemerintah bagi program rehabilitasi, terputusnya layanan pada aras pasca-rehabilitasi, dan minimnya evaluasi mutu layanan. Dampak mengenaskan lainnya adalah kualitas data jumlah pecandu yang telah direhabilitasi berbeda-beda antara satu institusi dan institusi lain.

Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) selaku ujung tombak rehabilitasi pun bernasib sama. Survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian, Data, dan Informasi BNN pada kelompok rumah tangga di 20 provinsi pada 2015 menemukan fakta miris: hanya 5 persen masyarakat yang pernah mendengar istilah IPWL. Dari jumlah tersebut, mayoritas responden (58 persen) mengaku mendengar istilah IPWL dari aparat kepolisian dan penegak hukum lain. Sisanya (30 persen) dari media televisi/Internet dan saat menimba ilmu di sekolah/perguruan tinggi. Padahal IPWL merupakan pengobatan rawat jalan bagi para pecandu yang dapat berwujud puskesmas, rumah sakit, atau panti sosial. Diperkirakan hanya sekitar 30 persen dari ratusan IPWL di bawah Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial yang masih memberikan layanan.

Kemauan untuk berkoordinasi menjadi kunci solusi permasalahan tersebut. Ini diperkuat dengan pembentukan mekanisme kewaspadaan dan sosialisasi yang intens antara aparat pemerintah dan masyarakat di pelbagai aras. Penataan ulang komponen terkait, seperti yang ditekankan oleh hasil kajian Ombudsman, mesti dikedepankan. Rencana Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan mengambil alih kisruh antarinstitusi ini mesti diapresiasi. Desain besar rehabilitasi yang menyatukan peran tiga institusi ke dalam satu wadah dapat menjadi solusi. Ombudsman menyarankan BNN mengelola IPWL, sedangkan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial menetapkan standar pelayanan rehabilitasi dan pasca-rehabilitasi.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

3 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

12 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

33 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

41 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

45 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya