Cap Go Meh dan Intoleransi

Penulis

Bagong Suyanto

Rabu, 6 Februari 2019 07:30 WIB

Petugas PMI bersiaga di depan klenteng Samudera Bhakti yang terbakar di hari perayaan Imlek di Bandung, Selasa, 5 Februari 2019. Api sudah dapat dikuasai. TEMPO/Prima mulia

Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

Sikap intoleransi kembali muncul. Atas nama agama dan dengan dalih bisa merusak akidah agama Islam, Forum Muslim Bogor (FMB) menerbitkan pernyataan larangan perayaan Cap Go Meh di Kota Bogor. FMB tidak hanya menyerukan agar Pemerintah Kota Bogor tidak memfasilitasi perayaan itu, tapi juga menyatakan bahwa mendukung perayaan Cap Go Meh sama saja mengakui eksistensi budaya komunitas Tionghoa yang berarti mengakui juga agama mereka.

Namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bogor dengan tegas mengecam pernyataan FMB karena dianggap sepihak dan bersikap membahayakan kerukunan beragama. Bahkan MUI Kota Bogor mempersilakan siapa saja melaporkan pernyataan FMB yang dinilai sebagai salah satu bentuk ujaran kebencian. Surat pernyataan FMB yang diedarkan per 23 Januari 2019 tersebut dianggap bisa mengoyak kerukunan beragama di Kota Bogor.

Di Indonesia, sikap intoleransi seperti yang diperlihatkan FMB sebetulnya bukan hal baru. Sebelum FMB, di berbagai daerah tidak sekali-dua kali sikap intoleransi juga muncul. Pada tahun lalu, misalnya, ritual sedekah laut, yang biasanya digelar masyarakat sekitar pantai di Kabupaten Bantul, terpaksa batal karena dibubarkan secara paksa oleh sekelompok orang dengan dalih ritual itu dinilai syirik dan tidak sesuai dengan ajaran agama.

Di luar apa yang terjadi di Bogor dan Bantul, tentu masih banyak contoh yang menggambarkan betapa virus sikap intoleransi telah merasuk ke berbagai komunitas. Semua itu memperlihatkan bahwa perlakuan intoleransi kita terhadap kelompok liyan (the other) sering terjadi, bahkan dalam skala yang semakin lama cenderung semakin masif. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan sikap intoleransi ini cenderung semakin marak.

Advertising
Advertising

Pertama, kekeliruan memahami berbagai ritual budaya, seperti Cap Go Meh atau sedekah laut, sebagai bagian dari warisan budaya, tapi melihatnya sebagai bagian dari tradisi dan representasi keyakinan kelompok liyan yang dapat mengancam eksistensi agama Islam. Pernyataan FMB yang mengkhawatirkan pengucapan selamat merayakan Cap Go Meh atau tindakan pemerintah yang bersedia memfasilitasi festival Cap Go Meh akan dapat mengancam akidah agama Islam, jelas sikap yang terlalu menyederhanakan masalah. Bahkan kekhawatiran yang berlebihan.

Kedua, perkembangan syak wasangka dan kekeliruan menyikapi perbedaan budaya dan kehadiran kelompok yang berbeda ini identik dengan ancaman bagi eksistensi kelompok dominan. Sikap yang terlalu reaktif terhadap kelompok yang berbeda ini justru sering membuat kita sebagai bangsa rentan dan memicu konflik terbuka karena kita tidak terlatih menerima perbedaan sebagai keniscayaan.

Banyak bukti yang memperlihatkan bahwa potensi konflik horizontal di Tanah Air ini menjadi sangat sensitif untuk meledak ketika masyarakat belum dan tidak terbiasa menghadapi perbedaan demi perbedaan. Alih-alih menerima perbedaan sebagai modal sosial positif, pada kenyataannya, yang terjadi adalah perbedaan budaya kelompok lain justru sering dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi kelompok dominan.

Ketiga, kekeliruan memandang keberagamaan dan perbedaan bukan sebagai bagian dari investasi sosial yang fungsional untuk dikembangkan bagi pembangunan daerah dan masyarakat lokal, tapi justru sebagai ancaman atau gangguan.

Banyak studi telah membuktikan bahwa yang namanya intoleransi adalah embrio dari sikap radikal yang berpotensi merusak kerukunan dan persatuan bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang beragam, membiarkan sikap intoleransi makin subur berkembang tentu akan berisiko membawa bangsa ini ke dalam situasi yang dilematis, bahkan berpotensi terlibat dalam konflik internal yang berkepanjangan.

Sikap intoleransi adalah benih buruk yang dapat membawa bangsa ini ke arah yang keliru. Pengalaman bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia sebetulnya telah banyak mengajarkan bahwa syak wasangka dan intoleransi adalah bibit yang berpotensi mengancam integrasi sosial. Alih-alih belajar menghargai perbedaan dan bersikap toleran terhadap perbedaan, sikap intoleran umumnya akan tumbuh subur ketika kita terbiasa menolak kehadiran kelompok yang berbeda.

Mun’im Sirry (2018), dosen teologi asal Indonesia yang kini mengajar di Universitas Notre Dame, menyatakan perlunya kita beragama dengan rileks. Artinya, kekhawatiran bahwa menoleransi ritual budaya atau agama lain akan dapat mengancam moralitas dan keagamaan kita sebetulnya sikap yang terlalu kaku, bersyak wasangka, dan kekhawatiran yang tidak perlu.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

1 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

10 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

31 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

39 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

43 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

58 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

59 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya