Razia Buku Kiri

Penulis

Senin, 28 Januari 2019 07:43 WIB

Blunder besar jika pemerintah Presiden Joko Widodo melanjutkan warisan Orde Baru, yakni menggunakan kekuasaan untuk menyita buku-buku "kiri". Selain menunjukkan semangat anti-intelektual, tindakan itu merupakan pengingkaran terhadap sejarah bangsa sendiri. Jokowi harus menghentikan rencana Kejaksaan Agung yang telah melucuti semangat berdemokrasi itu.

Pernyataan razia besar-besaran terhadap buku yang disebut berkonten komunisme dan ideologi terlarang lainnya itu disampaikan oleh Jaksa Agung Prasetyo pada pekan lalu. Razia sebenarnya bahkan sudah berlangsung beberapa kali dalam tiga bulan terakhir, yang juga melibatkan aparat Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Di Padang, Sumatera Barat, misalnya, aparat antara lain mengambil paksa buku Mengincar Bung Besar: Tujuh Upaya Pembunuhan Presiden Sukarno. Alasan yang disampaikan: buku itu mengajarkan komunisme. Padahal buku itu murni memuat hasil penelitian sejarah yang bertutur tentang sejumlah aksi makar terhadap Sukarno yang telah menewaskan 10 orang. Peluncuran buku tersebut bahkan dihadiri Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, patron politik sang presiden.

Ketidaktahuan itu diperparah oleh "gelap mata" lainnya: pengabaian hukum. Mahkamah Konstitusi pada 2010 jelas-jelas sudah memutuskan mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 yang membolehkan Kejaksaan melarang buku tanpa proses pengadilan. Mahkamah menyatakan penyitaan buku tanpa melalui proses pengadilan sama saja dengan pengambilalihan hak pribadi secara sewenang-wenang, yang dilarang oleh Pasal 28H ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945.

Penyitaan di Padang, juga di Kediri, Jawa Timur, tidak melalui proses pengadilan. Rencana razia besar-besaran yang dilontarkan Jaksa Agung di DPR juga nir-keputusan pengadilan. Rencana itu tak bisa dibenarkan hanya karena jaksa berlindung di balik Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan dan Pasal 69 ayat 3 Undang-Undang Nomor 3/2017 tentang Sistem Perbukuan.

Advertising
Advertising

Dua undang-undang itu disebut Kejaksaan memberi mereka hak untuk mengawasi substansi buku. Tapi dua pasal itu tak secara jelas mendefinisikan pengawasan yang dimaksudkan. Peraturan pemerintah, yang seharusnya mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan seperti diamanatkan Undang-Undang Sistem Perbukuan itu, sampai hari ini malah belum dikeluarkan.

Pasal 69 ayat 4 aturan ini sebenarnya sudah menyebutkan bahwa pengawasan harus transparan dan tetap menjaga kebebasan berekspresi. Siapa pun tahu bahwa razia ataupun penyitaan telah mengganggu, bahkan memporak-porandakan, kebebasan berekspresi. Karena itu, uji materi atas dua perundang-undangan yang bertentangan dengan putusan MK itu mesti segera diajukan.

Patut diduga, rencana razia buku-buku "kiri" itu terkait dengan politik elektoral. Para pendukung Jokowi meyakini sekitar 6 persen pemilih percaya pada rumor bahwa presiden inkumben itu berasal dari keluarga Partai Komunis Indonesia. Bisa jadi, langkah Kejaksaan punya kaitan dengan hasil jajak pendapat itu.

Jika benar razia tersebut dipakai untuk meraup suara kalangan muslim dalam pemilihan presiden, tindakan ini sungguh naif. Manuver itu mengorbankan praktik-praktik berdemokrasi yang benar.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

9 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

30 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

38 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

42 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

57 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

58 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya