Ketika Mahasiswa Jadi Konsumen

Jumat, 18 Januari 2019 07:14 WIB

Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Institut Pertanian Bogor

Jim Clifton, pemimpin dan CEO Gallup, lembaga konsultasi di Amerika Serikat, pernah menulis di blognya: "UNIVERSITIES: Disruption is coming". Dan dia bertanya: "Apakah kita masih perlu universitas? Bagaimana jika mereka kehabisan pelanggan?"

Tulisan itu dipicu oleh keputusan dua perusahaan besar, Google dan Ernst & Young, yang akan merekrut karyawan tanpa gelar. Menurut Clifton, universitas dapat membentur tembok secepat yang dialami perpustakaan, koran, dan toko-toko ritel ketika berhadapan dengan disrupsi teknologi. Pikirkan hal ini: "Mana yang lebih penting bagi Anda: pendidikan di universitas atau universitas yang ada di saku Anda-ponsel cerdas Anda?" demikian Clifton menulis di blognya.

Keadaan itu akan menggugurkan suatu kredo bahwa pendidikan formal telah menjadi mesin raksasa dan syarat diwujudkannya "kehidupan normal". Selama ini pendidikan-atau dengan sebutan lain school, education, pedagogie, andragogie, madrasah, pesantren-dianggap penting bagi anak-anak dalam suatu keluarga sehingga tidak ada yang berani mengabaikannya. Mengabaikan pendidikan dianggap akan menempati dunia yang terkucil.

Hasil rapat kerja nasional Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada 3-4 Januari lalu seakan merespons kegalauan Jim Clifton tersebut. Untuk itu, diperlukan upaya agar riset, teknologi, dan pendidikan tinggi menjadi lebih terbuka, fleksibel, dan bermutu. Indonesia perlu ekosistem riset, teknologi, dan pendidikan tinggi yang mampu memenuhi kebutuhan pasar. Selain itu, akan ada kebijakan nasional agar Indonesia cepat menyesuaikan diri dengan disruptive innovation serta mempermudah pendirian program studi yang dibutuhkan oleh industri. Dengan kemudahan itu, diharapkan perguruan tinggi negeri dan swasta dapat mencari potensi daerah untuk dapat dikomersialkan dengan lebih baik.

Advertising
Advertising

Namun, akibat lembaga penghasil intelektual itu menyerah pada prioritas kepentingan kapitalisme global, di seluruh dunia saat ini kesenjangan antara perkembangan universitas dan kondisi kesejahteraan masyarakat, walaupun berkurang, hampir tidak berarti. Demikian dinyatakan oleh Terry Eagleton dalam bukunya, The Slow Death of the University: The Chronicle of Higher Education (2015). Meskipun lembaga pendidikan tinggi harus responsif terhadap kebutuhan mereka sendiri dan masyarakat, tidak seharusnya mereka bersedia menjadi stasiun layanan bagi neo-kapitalisme.

Ketika profesor diubah menjadi manajer dan mahasiswa diposisikan sebagai konsumen, dinamika politik universitas biasanya dalam perebutan yang tidak terhormat untuk mengamankan sumber keuangan mereka. Setelah para pelanggan aman di dalam gerbang kampus, biasanya ada tekanan untuk tidak mengecewakan mereka. Caranya dengan menyajikan mata kuliah yang disesuaikan dengan apa pun yang sedang populer di kalangan anak berusia 20 tahun. Dengan begitu, kekuatan politis di kampus terletak pada siapa yang sedang duduk menentukan silabus mata kuliah.

Perkembangan semacam itu tentunya tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat lain yang juga diharapkan dari dunia kampus. Persoalan ketimpangan ekonomi, kemiskinan struktural, ketidakadilan pemanfaatan sumber daya alam, dan korupsi memerlukan kredibilitas dan eksistensi civitas academica melalui peran langsung perguruan tinggi di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, kebebasan akademik justru sangat diperlukan. Dengan begitu, universitas tidak dapat bersandar secara berlebihan pada kepentingan pasar.

Walaupun prinsip "kelas tiga dinding", yaitu bentuk, isi, dan irama pendidikan, dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman, hakikat pendidikan harus dipertahankan. Demikian tokoh pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara pernah menyebutnya. Dalam hal ini, Aristoteles menyebut, "Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sama sekali." Adapun W.E.B. Du Bois menyatakan: "Pendidikan tidak harus hanya mengajarkan pekerjaan, tapi juga harus mengajarkan kehidupan." Atau, yang lebih operasional dinyatakan oleh John F. Kennedy: "Tujuan pendidikan adalah kemajuan pengetahuan dan penyebaran kebenaran."

Kini apakah hakikat pendidikan tersebut dapat dipertahankan ketika sifat komersialisasinya justru diperkuat? Semestinya, kebijakan pragmatis justru dihindari, yang hanya akan melemahkan suara-suara ataupun pendirian-pendirian kampus yang diperlukan sebagai penyeimbang kepentingan yang cenderung merugikan masyarakat.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

23 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

35 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

51 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

51 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya