Ulama dan Negara-Bangsa

Penulis

Abdallah

Kamis, 17 Januari 2019 06:55 WIB

Ma'ruf Amin bersilaturahmi dengan ulama di Pondok Pesantren El Nur El Kasysyaf (Yapink), Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 22 Desember 2018. Istimewa.

Abdallah
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta

Wacana hubungan agama dan negara kembali mencuat di ranah publik dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut semakin menguat dengan tampilnya KH Ma’ruf Amin, figur ulama dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), sebagai calon wakil presiden dalam pemilihan presiden mendatang. Salah satu perdebatan yang mengemuka adalah pro dan kontra di kalangan ulama ihwal konsep negara-bangsa. Polemik tersebut menunjukkan bahwa masih ada yang belum selesai dalam berbangsa dan bernegara sekarang ini.

Studi mutakhir Pusat Pengkajian Islam Demokrasi dan Perdamaian Yogyakarta bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta (2018) tentang "Persepsi Ulama terhadap Negara-Bangsa" dirilis pada pekan lalu di Jakarta. Penelitian ini menelaah pandangan para ulama mengenai konsep negara-bangsa dengan melakukan survei dan wawancara mendalam terhadap 450 ulama di 15 kota. Ulama tersebut berasal dari beragam afiliasi keagamaan, seperti NU (22,22 persen), Muhammadiyah (15,78 persen), Syiah dan Ahmadiyah (5,33 persen), dan lain-lain (35,56 persen).

Temuan dari penelitian ini cukup menggembirakan. Sebanyak 71,56 persen ulama menerima tatanan negara-bangsa, sedangkan yang menolak 16,44 persen. Artinya, dalam kadar ini, ulama setuju terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, juga demokrasi sebagai sistem terbaik.

Hal ini berbanding lurus dengan cara pandang keagamaan. Ulama yang memiliki pandangan moderat sebanyak 34 persen, inklusif 23,33 persen, progresif 4,89 persen, konservatif 9,33 persen, radikal 4 persen, dan ekstrem 2,67 persen. Penerimaan ulama terhadap konsep negara-bangsa dapat diukur dengan melihat beberapa dimensi, yakni penerimaan terhadap sistem (yang mendukung 92,89 persen dan menolak 7,11 persen), penolakan terhadap kekerasan (pendukung 90,22 persen dan penolak 9,78 persen), toleransi (yang menerima 76,44 persen dan menolak 23,56 persen), dan pro-kewargaan (pendukung 69,11 persen dan penolak 30,89 persen).

Advertising
Advertising

Hal menarik lainnya adalah wilayah yang memiliki sikap penerimaan terhadap negara-bangsa tampak di Pontianak, Surabaya, dan Ambon. Adapun penolakan terhadap negara-bangsa muncul di Surakarta, Padang, Aceh, dan Bandung.

Kendati demikian, penerimaan ulama terhadap negara-bangsa bukan tanpa kekurangan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada yang tidak selesai dalam irisan pro-kewargaan. Misalnya, dalam memilih pemimpin, alam pikir ulama masih terbelenggu pada politik kauman, yang menginginkan pemimpin ideal hanya dari kelompok muslim. Pada titik ini, kadar negara-bangsa direduksi dalam sekapan konsep ummah, yang hanya merangkul dengan melihat persamaan identitas (Roy, 2004).

Pada sisi anti-kekerasan juga menyisakan paradoks. Para ulama akan mengambil tindakan keras terhadap kelompok yang dianggap "sesat" jika tindakan persuasif tidak efektif. Ini juga tampak, misalnya, pada konsep pencegahan terhadap maksiat (nahi munkar), ulama akan memberlakukan tindakan koersif setelah pihak yang berwenang dianggap tidak berhasil. Yang terakhir ini mendorong masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri yang mengarah pada kekerasan.

Dalam konteks Indonesia, peran ulama cukup besar dalam pembentukan negara-bangsa. Laffan (2003) mendokumentasikan hal ini dengan baik. Dia menyebutkan bahwa nasionalisme tidak serta-merta lahir tanpa suntikan dari spirit agama. Kaum reformis muslim pada masa itu berani bersikap bahwa konsep ummah harus diganti menjadi "bangsa" dan Tanah Air, yang dewasa ini dipahami sebagai pergeseran dari konsep "al-Jawi". Jadi, dengan ijtihad tersebut, membela bangsa merupakan perwujudan dari seruan ajaran Islam yang mesti ditaati dan dijunjung tinggi.

Di titik ini, perebutan wacana negara-bangsa di kalangan para ulama masih jauh dari selesai dan agaknya akan terus didaur ulang dengan mengikuti perubahan lanskap politik negara. Ada langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan. Pertama, Kementerian Agama bekerja sama dengan ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, serta mengadakan pelatihan untuk ulama, baik di level lokal maupun nasional, dengan memberikan wawasan kewargaan dan moderasi agama.

Kedua, Majelis Ulama Indonesia, yang merupakan representasi ulama Indonesia, mesti mewacanakan moderasi agama sebagai basis berpikir dan bertindak bagi para ulama, baik di level lokal maupun nasional, dalam mendakwahkan ajaran agama.

Ketiga, pemerintah-dalam hal ini Kementerian Agama, bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan-menyiapkan buku-buku keagamaan yang berisi wawasan keindonesiaan dan keislaman yang bertolak pada pemahaman bahwa Pancasila dan UUD 1945 tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, pada akhirnya tidak perlu istilah "NKRI Bersyariah".

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

4 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

25 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

33 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

37 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

52 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

53 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya