Rorschach

Senin, 7 Januari 2019 16:55 WIB

Ilustrasi pembukaan kotak suara. ANTARA/M Rusman

Kita hidup dalam zaman demokrasi dan superhero. Keduanya berlawanan, tapi mungkin saling bertaut. Kita hidup dalam masa kotak suara bersahaja diantre di TPS dan adegan superseru, supergemuruh, dan superkhayal dalam Infinity Wars di layar TV. Masing-masing kita bicarakan dengan akrab, kadang-kadang sengit, sesekali geli.

Kita tahu demokrasi bukan tempat untuk Batman, Superman, Thanos, Wonder Woman, dan semua makhluk fiktif yang tak lazim dalam kemampuan berkelahi dan model celana itu.

Para superhero memukau. Sementara itu demokrasi, bila telah berjalan “normal”, bisa membosankan. Dalam demokrasi, “super-” menandai anomali. Bahkan sebuah antithesis.

Setelah tak ada lagi revolusi sosialis, setelah sejarah sebagai peristiwa besar berakhir, tindakan heroik sangat jarang terjadi dalam hidup bersama, khususnya dalam politik. Yang ber­edar dan berkuasa: manusia rata-rata. Demokrasi dan kapitalisme membuat banyak hal dalam hidup jadi datar, kecuali bentuk perut.

Pada 1992, Francis Fukuyama menulis buku yang cemerlang meskipun isinya tak selalu bisa diterima: The End of History and the Last Man. Bukan, buku ini bukan hanya sebuah sorak-sorai untuk kemenangan demokrasi-liberal dan kapitalisme. Ada satu paragraf yang membuat kita merenung, agak murung. “Kemenangan” itu, “akhir sejarah” itu, bukan masa yang sepenuhnya menyenangkan:

Advertising
Advertising

Akhir sejarah akan merupakan sebuah masa yang menyedihkan. Perjuangan agar diakui, kesediaan mempertaruhkan nyawa untuk sebuah tujuan yang sepenuhnya abstrak, pergulatan sedunia yang menggugah keberanian, kemauan untuk nekad, kesemarakan imajinasi dan idealisme akan digantikan perhitungan ekonomi, usaha memecahkan soal-soal teknis yang tak henti-hentinya, perkara lingkungan dan pemuasan tuntutan konsumen yang makin canggih.

Itu memang suasana di masyarakat manusia yang disebut dalam buku Fukuyama sebagai “the last man”. Kata ini versi Inggris dari yang disebut Nietzsche—dalam karyanya yang termasyhur, Also Sprach Zarathustra—sebagai letzter Mensch.

Dalam terjemahan Indonesia, H.B. Jassin memilih kata “Manusia Purna” untuk pengertian itu—dan saya kira lebih tepat ketimbang terjemahan Inggris. Kata “purna” mengisyaratkan keadaan yang “rampung”, “usai”, tak akan ada peningkatan dan progresi.

Sebab letzter Mensch bisa juga disebut manusia jinak, tak punya lagi kreativitas, kering, dingin, tak punya imajinasi.

Zarathustra, sebuah sosok imajiner yang kadang-kadang seperti nabi, kadang-kadang seperti orang eksentrik, kadang-kadang bicara banyak sebagai si bijak, berkata:

Awas! Akan tiba masanya manusia tidak lagi menembakkan panah hasratnya melampaui manusia dan tali busurnya tidak lagi dapat bergetar!….

Bumi pun sudah jadi kecil dan di atasnya melompat-lompat Manusia Purna, yang membikin kecil segalanya....

Bagi Zarathustra, Manusia Purna—yang tak mengenal cinta, tak terpesona bintang-bintang—adalah “manusia yang paling hina”. Ia gerak surut di tengah pasang naik kehidupan alam semesta. Ia tak mau melampaui apa-apa. “Kami telah temukan bahagia”—kata Manusia Purna.

Mungkin sebab itu datang percobaan, dalam imajinasi dan aksi, untuk lepas dari “masa yang menyedihkan” itu. Dalam imajinasi orang bikin para superhero yang ribut berantem dengan segala superteknologi. Dalam aksi sejumlah anak muda memasuki “perjuangan untuk diakui”, dengan “menembakkan panah hasratnya” melampaui manusia rata-rata: meninggalkan rumah orang tua yang borjuis dan beradab tapi membosankan, dan bergabung dengan gerakan teroris—sebuah “hijrah” yang kadang-kadang biadab.

Tapi yang terjadi sebuah lingkaran setan. Apa yang diubah? Para superhero hanya mengembalikan keadaan yang ter­ancam “yang-lain”, yang “bukan-kita”, yang diwakili tokoh-tokoh yang lebih ganjil lagi. Para pemuda “hijrah” juga demikian, dan membiarkan diri diperbudak dogma.

Tapi ada superhero yang autentik: Rorschach dalam komik Watchmen. Jagoan ini brutal dalam membalas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, tapi ia mati sebelum kisah selesai.

Anak pelacur ini—seperti Bruce Wayne yang kaya raya dan jadi Batman—mengenakan topeng. Tapi maskernya dari kain buruk. Warnanya putih bercoreng hitam seperti tetesan tinta dalam alat tes psikologi yang disebut Rorschach. Hitam-putih itu menandai sikapnya yang membedakan “kami” dan “mereka” dengan mutlak—seperti para teroris atas nama agama. Tapi topeng itu juga mengisyaratkan, sebagaimana alat tes psikologi itu, bahwa ia sesuatu yang artinya hanya tafsiran masing-masing yang melihatnya. Ia, seperti manusia umumnya, sebuah misteri. Tak mudah dihakimi.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

8 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

29 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

37 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

41 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

56 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

57 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya