Bancakan dalam Perubahan Rencana Tenaga Listrik
Penulis
Hendrik Siregar
Senin, 7 Januari 2019 07:00 WIB
Hendrik Siregar
Peneliti Energi dan Iklim Auriga Nusantara
Seperti tahun-tahun sebelumnya, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan melakukan perubahan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2019-2028. Ini rutinitas tahunan PLN. Sebagai dokumen teknis pelaksana Rencana Umum Kelistrikan Nasional, perubahannya harus melalui evaluasi teknis dan nonteknis yang mendalam, serta tidak cukup dilakukan tiap tahun dengan asumsi perubahan dalam pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan listrik.
Perubahan RUPTL tiap tahun ini sangat potensial menjadi ajang transaksi antara pengurus negara, pengurus PLN, politikus, dan pengusaha. Perubahan proyek yang biasanya muncul adalah jadwal operasi secara komersial (COD), besaran kapasitas pembangkit, jenis pembangkit, dan lokasi pembangkit akan dibangun. Semua perubahan ini rawan dinegosiasikan dan mendorong terjadinya suap. Kasus suap rencana pembangunan PLTU Riau-1, yang menyeret Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Eni Maulani Saragih, dan mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, merupakan salah satu bukti rawannya perubahan RUPTL.
Proyek PLTU Riau-1 itu muncul di RUPTL 2016-2025 dan rencananya dibangun di Kabupaten Indragiri Hilir. Namun proyek tersebut tidak ada di RUPTL tahun sebelumnya. Di daerah ini semula akan dibangun PLTU Riau Kemitraan, yang justru tercantum dalam RUPTL 2015-2024. Tidak ada catatan atau penjelasan yang cukup mengapa proyek Riau Kemitraan berubah menjadi Riau-1. Juga berubahnya jenis pembangkit menjadi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulut tambang.
Dalam RUPTL tiga tahun terakhir, setidaknya ada 39 proyek yang berubah. Bahkan ada proyek yang berubah dua kali, seperti PLTU Kaltim-3 pada RUPTL 2016-2025 yang berubah kapasitas, dari 2x200 megawatt (MW) menjadi 1x100 MW, dan COD mundur menjadi tahun 2020. Pada tahun berikutnya, proyek berubah menjadi PLTU mulut tambang dengan kapasitas 2x100 MW. Tidak ada penjelasan yang cukup ihwal perubahannya.
Posisi PLN sebagai penyusun RUPTL tentu membuat badan usaha milik negara ini punya peran strategis dalam menegosiasikan perubahan proyek. Proyek-proyek baru yang muncul dalam RUPTL sangat mungkin diduga merupakan dorongan dari pihak lain. Namun tidak tertutup pula kemungkinan bahwa daftar proyek yang keluar dari PLN menjadi alat tawar kepada peminat yang punya kepentingan untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Pengurangan atau penambahan proyek dalam RUPTL selama ini menimbulkan kesan bahwa perencanaan penyediaan listrik nasional, yang disusun untuk 10 tahun ke depan, tidak cukup matang. Perubahannya terkesan untuk mengakomodasi kepentingan swasta, penguasa, atau politikus yang ingin memperoleh jatah proyek. Jika ditelusuri lebih jauh, dari proyek-proyek pembangkit listrik yang telah beroperasi, dibangun, atau masih direncanakan, bisa saja ditemukan siapa yang telah mendapatkan proyek tersebut.
Persidangan kasus suap EMS dan Johannes B. Kotjo sebagai pelaku penyuapan rencana proyek PLTU Riau-1 menguak keterlibatan banyak pihak. Keterangan para saksi serta dakwaan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi gambaran keterlibatan banyak pihak, termasuk politikus dan pengusaha. Kasus suap PLTU Riau-1 sudah layak menjadi titik berangkat bagi pemerintah dan parlemen untuk mempertimbangkan kembali mekanisme penyusunan RUPTL, terutama dalam melakukan perubahan, agar lebih transparan dan akuntabel.
Aturan penyusunan RUPTL juga harus diperbaiki, misalnya dalam konteks kewenangan. Mesti ada evaluasi dokumen secara mendalam yang melibatkan para pihak seperti KPK. Setidaknya ada indikator-indikator yang dapat dipahami publik mengapa proyek tertentu harus diubah.