Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan lebih gencar membongkar patgulipat di sektor pertambangan. Langkah ini penting karena banyak pejabat dan politikus ditengarai mengumpulkan biaya politik dari praktik kotor di pertambangan.
Sinyalemen itu diungkapkan oleh koalisi masyarakat sipil lewat laporan berjudul "Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara" yang dirilis belum lama ini. Penelusuran para aktivis lingkungan itu menemukan kaitan erat antara korupsi di sektor pertambangan dan kompetisi politik-dari pemilihan kepala daerah hingga pemilihan presiden.
Laporan yang disusun oleh Greenpeace, Auriga, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Jaringan Advokasi Tambang tersebut cukup mencemaskan. Sejumlah elite di kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno juga tersangkut erat dengan bisnis pertambangan, terutama batu bara. Pendanaan pemilu dari sektor pertambangan akan melahirkan korupsi baru di masa mendatang. Kubu mana pun yang menang akan membalas budi lewat bagi-bagi konsesi tambang.
Komisi antikorupsi perlu menyelidiki praktik kotor yang diduga dilakukan oleh para pemain politik. Lembaga ini juga harus melanjutkan penyelidikan terhadap sejumlah izin usaha pertambangan yang janggal. Dari sekitar 11 ribu izin tambang di seluruh Indonesia, sebanyak 3.772 izin ditengarai bermasalah. Banyak pemilik izin yang tidak clean dan clear. Ada juga izin yang menyerobot kawasan hutan lindung.
Skandal mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, yang dibui karena menerima gratifikasi izin tambang memperlihatkan sisi gelap sektor pertambangan. Hukuman politikus Partai Amanat Nasional ini semula diperberat menjadi 15 tahun oleh pengadilan banding, tapi akhirnya dipotong lagi menjadi 12 tahun di tingkat kasasi. Adapun pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama lima tahun masih dipertahankan.
Sisi lain dari praktik kotor di pertambangan, khususnya batu bara, terungkap pula dalam laporan Indonesia Corruption Watch pertengahan tahun ini. Berdasarkan hasil penelusuran dari tim peneliti ICW selama periode 2006-2016, ditemukan indikasi transaksi ekspor batu bara yang tak dilaporkan senilai Rp 365,2 triliun. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 133,6 triliun.
Tim KPK perlu mengungkap indikasi itu dengan melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Pemberian izin usaha pertambangan yang tidak transparan juga perlu diusut. Jangan sampai hasil kekayaan sumber daya alam kita justru lebih banyak dinikmati oleh para politikus dan pejabat.
Pemerintah semestinya juga melakukan upaya pencegahan dengan menutup segala celah yang memungkinkan korupsi izin pertambangan merajalela. Proses pemberian izin harus dilakukan secara terbuka dan transparan agar publik ikut mengawasinya.