Hak Pilih Orang dengan Gangguan Jiwa

Selasa, 4 Desember 2018 07:00 WIB

Sutisna (42), penderita gangguan jiwa berada dalam kurungan besi sudah selama 15 Tahun di Desa Selawangi, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, 21 April 2016. TEMPO/Aditya Herlambang Putra

Nova Riyanti Yusuf
Anggota DPR

Dalam beberapa pekan terakhir, masyarakat dihebohkan oleh Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang hak memilih bagi penyandang disabilitas mental. KPU berpandangan, hak penyandang disabilitas mental diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dikenal dua istilah, yaitu orang dengan masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Di antara keduanya dibedakan dengan sebuah garis pembatas yang dinamakan diagnosis.

ODGJ adalah bagian dari kelompok masyarakat penyandang disabilitas yang juga dinyatakan secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD), yang telah diratifikasi Indonesia. ODGJ mendapat jaminan penuh atas hak-haknya sesuai dengan pasal-pasal dalam CRPD dan Undang-Undang Disabilitas, seperti hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, termasuk untuk didaftarkan sebagai pemilih dalam pemilihan umum.

Kebijakan KPU untuk mendaftarkan pemilih dengan disabilitas mental ini menjadi luar biasa karena masyarakat memandang ODGJ secara stigmatis, bahwa ODGJ hanyalah mereka yang bertelanjang bulat di pinggir jalan. Gangguan ekstrem seperti ini dikenal sebagai bagian dari gangguan psikotis, yang tidak dapat membedakan antara realitas dan fantasi, seperti skizofrenia.

ODGJ mencakup wilayah yang sangat luas, termasuk orang yang mempunyai gangguan neurotik, seperti gangguan cemas, panik, dan depresi. Peraturan KPU tentang penyandang disabilitas mental juga akan mencakup gangguan psikotik dan neurotik.

Advertising
Advertising

Selain itu, gangguan jiwa merupakan gangguan pada kesehatan seseorang, seperti pada umumnya orang yang mengalami diabetes, darah tinggi, dan maag. Tidak ada dikotomi bahwa gangguan jiwa adalah gangguan non-medis, dan gangguan fisik lain adalah gangguan medis. Penanganan gangguan jiwa yang utama tetap dilakukan dokter dan psikolog klinis. Tidak ada yang absurd atau terlalu abstrak untuk dipahami bagi orang yang mau berpikiran terbuka. Untuk mencegah reaksi bombastis dari masyarakat, seharusnya KPU lebih dulu mensosialisasikan rencana kebijakan ini dan melakukan uji publik.

Layaknya sebuah ketentuan, Peraturan KPU harus memperhatikan dua faktor utama, yaitu prosedur implementasi dan irisan dengan peraturan lain. Terkait dengan implementasi, ada banyak pihak yang harus diundang KPU untuk merumuskan prosedurnya, seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Beberapa psikiater protes karena mereka melakukan penapisan di panti berdasarkan permintaan resmi Dinas Kesehatan. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan bagi seorang profesional.

Tidak sedikit pula pihak yang mempertanyakan irisan Peraturan KPU dengan peraturan lain, seperti Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi, "Tiada dapat dipidana barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal." Undang-Undang Kesehatan Jiwa juga menyatakan, untuk kepentingan penegakan hukum, seseorang diduga ODGJ yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan pemeriksaan kesehatan jiwa. Selain itu, pemeriksaan kesehatan jiwa dilakukan untuk menentukan kemampuan seseorang dalam mempertanggungjawabkan tindak pidana yang telah dilakukannya.

Secara kontekstual, kedua peristiwa itu sangat berbeda. Saat pencoblosan, ODGJ yang sedang akut, bingung, dan mengalami gangguan kognitif berat tidak akan sanggup berangkat ke tempat pencoblosan. Perawat pun tidak akan mengeluarkannya dari ruang perawatan intensif. Menjadi aneh bila saat ODGJ akan mencoblos kualitas pilihannya dipertanyakan. Sedangkan ada orang normal berangkat bermodalkan amplop dari calon tertentu, tapi tidak dipertanyakan kualitas pilihannya.

Sebuah inisiatif yang mulia dan berniat memanusiakan penyandang disabilitas mental telah berproses menjadi sebuah stresor psikososial baru bagi penyandang disabilitas mental karena olok-olok masyarakat, juga bagi para psikiater yang merasa bingung dengan implementasi di lapangan. Terlalu banyak pihak yang harus terus dikorbankan sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia. Polemik ini harus segera diselesaikan KPU secara akuntabel dan transparan.

Berita terkait

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

3 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.

Baca Selengkapnya

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

12 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

33 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

41 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

45 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya