Langkah Mundur RUU Kekerasan Seksual

Penulis

Kamis, 29 November 2018 07:30 WIB

Seorang wanita dari Aliansi Masyarakat Tolak Kekerasan Seksual poster dukungan terkait untuk disahkannya RUU penghapusan kekerasan seksual menjadi undang-undang saat menggelar aksi long march menuju gedung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jalan Medan Merdeka, Jakarta, 8 Desember 2015. TEMPO/Subekti

Dewan Perwakilan Rakyat kian menunjukkan tidak punya iktikad baik dalam menyokong penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Para wakil rakyat malah mengulurulur pembahasan rancangan undangundang tersebut, padahal sudah masuk Program Legislasi Nasional 2016.

Alasan penundaan pun mengadaada. Semula anggota Dewan berdalih pembahasan mandek karena mereka berfokus pada undangundang anggaran dan haji. Belakangan, rancangan undangundang itu dianggap terlalu sekuler dan membawa suara feminis, tak sesuai dengan budaya Indonesia. Mereka menginginkan penegakan hukum dalam undangundang tersebut tidak berlebihan.

Sebagai pengusul, DPR semestinya menjadi yang terdepan untuk merampungkan pembahasan. Namun sejak awal DPR seperti ogahogahan. Meski rancangan itu sudah tiga tahun masuk dalam program legislasi nasional, Komisi VIII baru membentuk panitia kerja pada September tahun lalu dan baru lima kali menggelar rapat dengan mengundang ahli dan wakil lembaga masyarakat. Akibatnya, payung hukum yang disiapkan untuk melindungi warga negara dari kejahatan seksual praktis jalan di tempat.

Kehadiran undangundang tersebut sudah sangat mendesak. Komisi Nasional AntiKekerasan terhadap Perempuan menyebutkan angka kekerasan seksual meningkat setiap tahun. Pada 2013, angka kekerasan terhadap perempuan mencapai 279.688. Tahun lalu, angka itu menembus 348.446 kasus. Tak mengherankan bila Indonesia masuk kategori darurat kekerasan seksual.

Pemerintah juga punya andil dalam mandeknya pembahasan rancangan undangundang penghapusan kekerasan seksual itu. Semula, draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang disusun Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan memiliki 15 bab dengan 184 pasal. Saat dibahas di Badan Legislasi DPR, naskah RUU menyusut menjadi 15 bab dengan 152 pasal. Ketika dibahas bersama pemerintah, daftar inventarisasi yang disusun hanya memuat 13 bab dengan 52 pasal.

Advertising
Advertising

Pemerintah berdalih sejumlah pasal dikurangi karena telah diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana. Faktanya, kejahatan seksual yang diatur dalam KUHP hanya sebatas pencabulan dan pemerkosaan. KUHP juga tidak memberikan jaminan perlindungan dan pemulihan kepada korban kekerasan.

Pemerintah masih melihat kekerasan seksual sebagai pelanggaran ketenteraman dan ketertiban masyarakat, bukan sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan kemanusiaan. Tak mengherankan bila pemerintah hanya memasukkan empat bentuk kekerasan seksual. Sementara itu, RUU versi DPR mengakomodasi sembilan bentuk kekerasan seksual. Daftar inventarisasi masalah yang disusun pemerintah juga tidak mengatur bentuk hak korban, termasuk perlindungan hingga pemulihan lanjutan. Langkah mundur ini bisa melemahkan tujuan awal pengusulan rancangan undangundang.

Seharusnya DPR bersama pemerintah lebih serius merumuskan aturan mengenai penghapusan kekerasan seksual. Tanpa hal itu, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dan proses penegakan hukum tidak akan pernah maksimal.

Berita terkait

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

3 hari lalu

Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.

Baca Selengkapnya

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

24 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.

Baca Selengkapnya

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

32 hari lalu

Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.

Baca Selengkapnya

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

36 hari lalu

AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.

Baca Selengkapnya

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

51 hari lalu

DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.

Baca Selengkapnya

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

52 hari lalu

Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.

Baca Selengkapnya

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.

Baca Selengkapnya

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.

Baca Selengkapnya